Kasus penipuan oleh PT Hanasta Indo Perdana dan Bintang Banjarsari Jetis, yang menjanjikan tanah kavling murah namun ternyata fiktif, memiliki implikasi hukum yang kompleks dan dapat ditinjau dari beberapa aspek peraturan perundang-undangan yang terkait, baik dalam hukum pidana, perdata, maupun peraturan sektor perumahan. Dalam hukum pidana, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan menciptakan kesan legalitas dengan melibatkan notaris untuk membujuk korban menyerahkan uang. Hal ini memenuhi unsur-unsur penipuan karena terdapat unsur kebohongan yang disengaja untuk mendapatkan keuntungan, menyebabkan kerugian nyata kepada korban. Pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana berupa penjara maksimal empat tahun.
Selain itu, jika pelaku mengumpulkan dana dari masyarakat tanpa izin sebagai pengembang properti, maka tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 42 Undang Undang ini mengatur bahwa setiap badan usaha yang menyelenggarakan pembangunan perumahan wajib memiliki izin resmi dari pemerintah daerah dan memenuhi ketentuan tata ruang serta administrasi lainnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 150 Undang-Undang yang sama. Peraturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik pembangunan properti yang tidak bertanggung jawab dan memastikan setiap pengembang mematuhi standar legalitas yang ditentukan.
Di sisi lain, tindakan pelaku juga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 Undang-Undang tersebut memberikan hak kepada konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai barang atau jasa yang ditawarkan. Dalam kasus ini, pelaku memberikan informasi palsu mengenai status tanah kavling, keberadaannya, serta keabsahan dokumen yang disertakan. Pasal 19 dan Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen memberikan dasar bagi korban untuk menuntut ganti rugi, baik melalui pengadilan umum maupun melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sanksi pidana bagi pelanggar juga diatur dalam Pasal 62, yang dapat berupa pidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.
Dari perspektif hukum perdata, para korban dapat mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata tentang wanprestasi jika terdapat perjanjian tertulis antara korban dan pelaku yang dilanggar. Jika tidak ada perjanjian tertulis, korban dapat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata). Dalam gugatan ini, korban harus membuktikan empat elemen utama: perbuatan pelaku bertentangan dengan hukum, adanya kerugian yang nyata diderita korban, hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian, serta kesalahan pada pihak pelaku. Gugatan ini dapat mencakup tuntutan ganti rugi materiil, seperti uang yang telah disetorkan, dan immateriil, seperti penderitaan psikologis akibat penipuan.
Dalam kaitannya dengan sektor perumahan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun juga relevan jika tanah kavling yang dijanjikan merupakan bagian dari proyek pengembangan rumah susun. Pasal 43 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa pembangunan rumah susun harus sesuai dengan rencana tata ruang dan mematuhi persyaratan administrasi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 100 dan Pasal 101 Undang-Undang tersebut, yang meliputi sanksi administratif, perintah penghentian pembangunan, hingga pidana.
Adapun Peran notaris yang terlibat dalam transaksi juga harus diperiksa secara menyeluruh. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris memiliki kewajiban untuk bertindak independen dan memeriksa legalitas dokumen yang ditandatangani. Jika terbukti notaris ikut memperkuat kebohongan pelaku, maka ia dapat dikenakan sanksi administratif, pencabutan izin praktik, atau bahkan pidana.
Demi mencegah kejadian serupa di masa depan, agar tidak adanya korban lain dikemudian hari maka regulasi terhadap pengembang properti harus diperketat, dan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas pembangunan perumahan. Edukasi masyarakat juga penting untuk meningkatkan kewaspadaan dalam transaksi properti, termasuk memastikan legalitas tanah atau rumah yang hendak dibeli. Dengan penerapan hukum yang tegas, penegakan peraturan yang konsisten, dan langkah preventif yang komprehensif, diharapkan keadilan bagi para korban dapat diwujudkan dan kejahatan serupa dapat dicegah secara efektif.
Referensi :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
* Staff Legal Kantor Firma Hukum H. Rifan Hanum dan Nawacita