Tag: PengawasanAnggaran

  • PERANAN PA, KPA, PPK & POKJA TERHADAP SEJUMLAH PROYEK TA 2022–2024 BERMASALAH DI KOTA MOJOKERTO (Studi Kasus Yuridis Normatif atas Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik) Oleh: Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S.H.

    PERANAN PA, KPA, PPK & POKJA TERHADAP SEJUMLAH PROYEK TA 2022–2024 BERMASALAH DI KOTA MOJOKERTO (Studi Kasus Yuridis Normatif atas Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik) Oleh: Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S.H.

    Beberapa tahun terakhir, masyarakat Kota Mojokerto dikejutkan oleh kenyataan pahit sejumlah proyek infrastruktur yang dilaksanakan antara Tahun Anggaran (TA) 2022 hingga 2024 ternyata tidak membawa manfaat, bahkan cenderung menjadi beban anggaran. Mulai dari proyek jalan lingkungan, revitalisasi fasilitas publik, hingga pembangunan prasarana yang mangkrak, semuanya menyisakan pertanyaan besar siapa yang bertanggung jawab?

    Jika ditinjau dari sisi tata kelola proyek pemerintah, ada empat aktor utama yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab, yakni Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kelompok Kerja Pengadaan Barang/Jasa (Pokja). Keempatnya memegang peranan vital dalam setiap tahapan siklus proyek, mulai dari perencanaan hingga serah terima hasil pekerjaan.

    Peran dan Tanggung Jawab Struktural

    Secara yuridis, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa PA dan KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan anggaran belanja negara/daerah. Sedangkan PPK, menurut Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bertugas melaksanakan kontrak dan memastikan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis. Pokja, di sisi lain, adalah aktor kunci dalam proses lelang, yang menentukan siapa pemenang pengadaan.

    Namun dalam sejumlah proyek di Kota Mojokerto, peran ini justru menjadi sumber permasalahan. Diduga kuat terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan, mulai dari penyusunan dokumen lelang yang tidak transparan, penunjukan pemenang yang sarat intervensi, hingga pelaksanaan proyek yang tidak memenuhi standar teknis.

    Studi Kasus Proyek Tidak Bermanfaat TA 2022–2024

    Dari berbagai informasi yang beredar, ada indikasi kuat bahwa beberapa proyek pada TA 2022–2024 gagal memberi manfaat karena:

    Tidak dilakukan uji kelayakan menyeluruh Proyek jalan lingkungan dan pembangunan area publik dilakukan tanpa studi teknis dan sosial yang memadai. Hal ini melanggar prinsip efisiensi dan efektivitas belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    Pemenang lelang tidak kompeten

    Sejumlah media lokal mengungkap adanya “upeti” dalam proses lelang yang diberikan oleh kontraktor kepada pejabat. Jika benar, ini menunjukkan bahwa Pokja tidak menjalankan tugas secara objektif dan profesional, melainkan berdasarkan pesanan oknum.

    Kegagalan pengawasan oleh PPK

    Dalam banyak kasus, proyek tetap dibayar meskipun progres fisik tidak sesuai, atau pekerjaan tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan PPK tidak menjalankan fungsi kontrol dan monitoring yang seharusnya menjadi bagian dari kontrak.

    Tidak adanya pertanggungjawaban moral dan administratif

    Hingga kini, belum ada satu pun pejabat yang menyatakan bertanggung jawab atas kerugian proyek tersebut. Tidak ada pengakuan kesalahan, bahkan kesan yang muncul adalah pembiaran sistemik.

    Tinjauan Hukum dan Moralitas

    Dari sudut pandang yuridis normatif, peran PA, KPA, PPK dan Pokja bukan hanya administratif, tapi juga memiliki implikasi hukum pidana dan perdata apabila terjadi kerugian negara. Dalam hal ini, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dapat dihukum pidana. Secara moral, jabatan publik adalah amanah. Ketika proyek yang didanai dari pajak rakyat disalahgunakan, maka pengkhianatan terhadap kepercayaan publik telah terjadi. Jika benar ada pejabat yang menerima “upeti” dalam proses lelang, maka hal tersebut bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga kejahatan moral yang mencoreng institusi pemerintahan.

    Kesimpulan dan Harapan Masyarakat

    Uji kelayakan seharusnya menjadi syarat mutlak dalam setiap proyek yang menggunakan dana publik. Tanpa itu, proyek hanya menjadi alat formalitas untuk menghabiskan anggaran. Kota Mojokerto membutuhkan reformasi serius dalam proses penganggaran dan pengadaan, agar ke depan tidak terjadi lagi proyek gagal manfaat. Masyarakat kini berharap pada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan ini. Peran Kejaksaan, Kepolisian dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat dibutuhkan untuk membongkar praktik curang dalam proyek-proyek tersebut. Jangan sampai kasus ini berlalu begitu saja, lalu menjadi preseden buruk yang terus berulang.

    Negara wajib hadir membela kepentingan rakyat, bukan melindungi para pemburu rente. PA, KPA, PPK dan Pokja harus berani bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil. Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus menurun, dan proyek-proyek pembangunan hanya akan menjadi simbol kegagalan tata kelola.

    *Staf Legal Kantor Firma Hukum H.RIF’AN HANUM & NAWACITA