Tag: pengacaramojokerto

  • TUDUHAN MEMPERJUALBELIKAN MANUSIA Oleh : Nadhirotul Munawaroh., S.H.*

    TUDUHAN MEMPERJUALBELIKAN MANUSIA Oleh : Nadhirotul Munawaroh., S.H.*

    Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini. Yang dimaksud dalam hal ini berkaitan dengan kasus perdagangan orang.

    Dalam UU tersebut dijelaskan, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

    Berdasarkan Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2007 subjek TPPO meliputi:

    1. Korban, adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
    2. Setiap Orang, adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

    Maka berdasarkan subjek yang dijelaskan dalam UU tersebut, perlu dianalisa ‘apakah agen jasa pengirim tenaga kerja ke luar negara Republik Indonesia untuk dieksploitasi dapat dijerat menggunakan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 atau tidak, untuk itu perlu diuraikan unsur-unsurnya sebagai berikut:

    1. setiap orang;
    2. membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia;
    3. dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

    Agar dapat dipidana atas dasar tindak pidana perdagangan orang, maka kesemua unsur di atas harus terpenuhi secara kumulatif bukan alternatif sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor  21 Tahun 2007. Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, maka tidak dapat dipidana.

    Apabila ditarik pada prosedur perkara saat masih di meja pelaporan, maka pihak kepolisian yang berwenang memeriksa harus benar-benar memastikan kesemua unsur dalam Pasal 1 UU 21/2007 terpenuhi sebelum perkara dinyatakan berganti status menjadi penyidikan. Pada proses penyelidikan perkara, pihak kepolisian mengumpulkan bukti-bukti untuk menentukan adanya dugaan TPPO. Selama penyelidikan, kepolisian harus memeriksa TKP, mengumpulkan keterangan saksi, dan mengumpulkan barang bukti. Bilamana telah dinyatakan cukup bukti sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP, maka perkara dapat ditingkatnya menjadi penyidikan.

    Dalam perkara delik TPPO di tingkat penyelidikan, bukti-bukti yang relevan dan harus dipenuhi oleh kepolisian kepada pelapor (saksi) adalah:

    1. Adanya bukti pihak agen pengiriman tenaga kerja ke Luar Negeri bersama-sama melakukan permufakatan jahat melakukan perdagangan orang untuk dieksploitasi di luar Indonesia;
    2. Adanya bukti pihak agen pengiriman tenaga kerja ke Luar Negeri membantu mengurus medical check up, membuatkan passport dan mengurus keberangkatan para saksi ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

    Selain itu, pihak kepolisian juga harus melengkapi bukti-bukti penyelidikan dari pihak terlapor (saksi) sebagai berikut:

    1. Surat Ijin Usaha Penempatan Perusahaan Jasa TKI (SIUP-PJTKI)

    Dokumen tersebut adalah izin wajib bagi PJTKI untuk menjalankan kegiatan penempatan TKI ke luar negeri.

    1. Sertifikat Pelatihan;

    PJTKI harus memiliki sertifikat pelatihan khusus terkait penempatan TKI, seperti sertifikat pelatihan penempatan TKI.

    1. Perjanjian Penempatan;

    Dokumen perjanjian yang berisi kesepakatan antara PJTKI dan calon TKI mengenai syarat penempatan, hak, dan kewajiban masing-masing.

    1. Perjanjian Kerja;

    Dokumen perjanjian kerja dengan pengguna jasa di negara tujuan yang ditandatangai oleh calon TKI, yang diurus oleh agensi melalui sistem endorsement KDEI.

    Pada proses penyidikan, pihak kepolisian dapat mengumpulkan bukti dan melakukan tindakan seperti penangkapan, penggeledahan, dan penahanan. Tujuan penyidikan adalah untuk membangun kasus yang solid dan memastikan bahwa ada cukup bukti untuk menuntut tersangka. Jika tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik maka hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum. Tahap penyidikan dianggap selesai jika berkas perkara yang diserahkan tersebut diterima dan dinyatakan lengkap (P21) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP.

    Kemudian berkas dilimpahkan oleh kepolisian kepada Jaksa Penutut Umum (JPU) untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.

    Bilamana dalam serangkaian prosedur tersebut tidak ditemukan bukti yang cukup atas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) maka seharusnya penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa seorang tersangka telah melakukan tindak pidana .

     

    Referensi:

    [1] Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

    [2] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    [3] Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

     

    *Staff Legal Kantor Firma Hukum H. Rif’an Hanum & Nawacita

     

  • PERANAN PA, KPA, PPK & POKJA TERHADAP SEJUMLAH PROYEK TA 2022–2024 BERMASALAH DI KOTA MOJOKERTO (Studi Kasus Yuridis Normatif atas Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik) Oleh: Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S.H.

    PERANAN PA, KPA, PPK & POKJA TERHADAP SEJUMLAH PROYEK TA 2022–2024 BERMASALAH DI KOTA MOJOKERTO (Studi Kasus Yuridis Normatif atas Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik) Oleh: Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S.H.

    Beberapa tahun terakhir, masyarakat Kota Mojokerto dikejutkan oleh kenyataan pahit sejumlah proyek infrastruktur yang dilaksanakan antara Tahun Anggaran (TA) 2022 hingga 2024 ternyata tidak membawa manfaat, bahkan cenderung menjadi beban anggaran. Mulai dari proyek jalan lingkungan, revitalisasi fasilitas publik, hingga pembangunan prasarana yang mangkrak, semuanya menyisakan pertanyaan besar siapa yang bertanggung jawab?

    Jika ditinjau dari sisi tata kelola proyek pemerintah, ada empat aktor utama yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab, yakni Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kelompok Kerja Pengadaan Barang/Jasa (Pokja). Keempatnya memegang peranan vital dalam setiap tahapan siklus proyek, mulai dari perencanaan hingga serah terima hasil pekerjaan.

    Peran dan Tanggung Jawab Struktural

    Secara yuridis, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa PA dan KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan anggaran belanja negara/daerah. Sedangkan PPK, menurut Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bertugas melaksanakan kontrak dan memastikan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis. Pokja, di sisi lain, adalah aktor kunci dalam proses lelang, yang menentukan siapa pemenang pengadaan.

    Namun dalam sejumlah proyek di Kota Mojokerto, peran ini justru menjadi sumber permasalahan. Diduga kuat terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan, mulai dari penyusunan dokumen lelang yang tidak transparan, penunjukan pemenang yang sarat intervensi, hingga pelaksanaan proyek yang tidak memenuhi standar teknis.

    Studi Kasus Proyek Tidak Bermanfaat TA 2022–2024

    Dari berbagai informasi yang beredar, ada indikasi kuat bahwa beberapa proyek pada TA 2022–2024 gagal memberi manfaat karena:

    Tidak dilakukan uji kelayakan menyeluruh Proyek jalan lingkungan dan pembangunan area publik dilakukan tanpa studi teknis dan sosial yang memadai. Hal ini melanggar prinsip efisiensi dan efektivitas belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    Pemenang lelang tidak kompeten

    Sejumlah media lokal mengungkap adanya “upeti” dalam proses lelang yang diberikan oleh kontraktor kepada pejabat. Jika benar, ini menunjukkan bahwa Pokja tidak menjalankan tugas secara objektif dan profesional, melainkan berdasarkan pesanan oknum.

    Kegagalan pengawasan oleh PPK

    Dalam banyak kasus, proyek tetap dibayar meskipun progres fisik tidak sesuai, atau pekerjaan tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan PPK tidak menjalankan fungsi kontrol dan monitoring yang seharusnya menjadi bagian dari kontrak.

    Tidak adanya pertanggungjawaban moral dan administratif

    Hingga kini, belum ada satu pun pejabat yang menyatakan bertanggung jawab atas kerugian proyek tersebut. Tidak ada pengakuan kesalahan, bahkan kesan yang muncul adalah pembiaran sistemik.

    Tinjauan Hukum dan Moralitas

    Dari sudut pandang yuridis normatif, peran PA, KPA, PPK dan Pokja bukan hanya administratif, tapi juga memiliki implikasi hukum pidana dan perdata apabila terjadi kerugian negara. Dalam hal ini, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dapat dihukum pidana. Secara moral, jabatan publik adalah amanah. Ketika proyek yang didanai dari pajak rakyat disalahgunakan, maka pengkhianatan terhadap kepercayaan publik telah terjadi. Jika benar ada pejabat yang menerima “upeti” dalam proses lelang, maka hal tersebut bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga kejahatan moral yang mencoreng institusi pemerintahan.

    Kesimpulan dan Harapan Masyarakat

    Uji kelayakan seharusnya menjadi syarat mutlak dalam setiap proyek yang menggunakan dana publik. Tanpa itu, proyek hanya menjadi alat formalitas untuk menghabiskan anggaran. Kota Mojokerto membutuhkan reformasi serius dalam proses penganggaran dan pengadaan, agar ke depan tidak terjadi lagi proyek gagal manfaat. Masyarakat kini berharap pada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan ini. Peran Kejaksaan, Kepolisian dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat dibutuhkan untuk membongkar praktik curang dalam proyek-proyek tersebut. Jangan sampai kasus ini berlalu begitu saja, lalu menjadi preseden buruk yang terus berulang.

    Negara wajib hadir membela kepentingan rakyat, bukan melindungi para pemburu rente. PA, KPA, PPK dan Pokja harus berani bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil. Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus menurun, dan proyek-proyek pembangunan hanya akan menjadi simbol kegagalan tata kelola.

    *Staf Legal Kantor Firma Hukum H.RIF’AN HANUM & NAWACITA

  • PERAN PENEGAK HUKUM DALAM MEMBEDAKAN PENGGUNA DAN PENGEDAR DALAM KASUS DENGAN JUMLAH KECIL

    PERAN PENEGAK HUKUM DALAM MEMBEDAKAN PENGGUNA DAN PENGEDAR DALAM KASUS DENGAN JUMLAH KECIL

    Maraknya kasus narkotika di Indonesia tidak hanya menimbulkan keprihatinan moral, tetapi juga menyisakan problematika hukum. Salah satu persoalan mendasar adalah kesulitan dalam membedakan antara pengguna dan pengedar narkoba, terutama dalam kasus dengan jumlah kepemilikan kecil, seperti 0,9 gram sabu. Artikel ini menganalisis problem tersebut dari sudut pandang hukum pidana, HAM, dan keadilan restoratif. Tulisan ini juga mengevaluasi peran polisi, jaksa, dan hakim dalam menerapkan asas keadilan substantif, bukan semata-mata kepastian hukum formalistik yang kaku.

    Realita Hukum Antara Penegakan dan Kriminalisasi Berlebihan

    Dalam berbagai kasus narkotika, tidak sedikit masyarakat kecil yang terjebak dalam jerat pidana berat meskipun hanya terbukti memiliki narkoba dalam jumlah sangat kecil. Contoh paling mencolok adalah ketika seseorang dengan kepemilikan sabu 0,9 gram langsung dituntut sebagai pengedar atau bahkan bandar berdasarkan Pasal 114 UU Narkotika. Pertanyaannya: apakah ini cerminan ketegasan hukum, atau justru bentuk kriminalisasi berlebihan?

    UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang memberi ruang multitafsir, khususnya terkait batasan antara “pengguna” dan “pengedar.” Akibatnya, aparat penegak hukum sering kali menggunakan pendekatan kuantitas semata tanpa menilai konteks sosial dan psikologis pelaku.

    Pasal-Pasal Karet dan Potensi Pelanggaran HAM

    Pasal 111 hingga 114 UU Narkotika kerap digunakan secara mekanistik, di mana berat barang bukti menjadi penentu tunggal status hukum pelaku. Padahal, dalam praktiknya:

    • Tidak ada batas berat yang secara eksplisit membedakan pengguna dari pengedar dalam UU Narkotika.
    • Tidak jarang pengguna yang mengalami kecanduan justru diperlakukan seperti penjahat kelas berat.
    • Penahanan dan pemidanaan terhadap pecandu ringan berkontribusi terhadap over kapasitas lembaga pemasyarakatan, tanpa menyelesaikan akar persoalan.

    Hal ini berpotensi melanggar prinsip non-discrimination dan fair trial sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

    Peran Penegak Hukum Antara Hukum dan Nurani

    Aparat penegak hukum sejatinya memegang peran sentral dalam membedakan mana pengguna yang membutuhkan rehabilitasi dan mana pengedar yang pantas dihukum berat. Dalam hal ini:

    • Polisi harus mengedepankan pendekatan investigasi kontekstual: apakah ada alat bukti lain seperti timbangan, plastik klip, rekam jejak transaksi.
    • Jaksa harus berani memilah perkara yang layak dilanjutkan ke pengadilan, dan mana yang sebaiknya diarahkan ke rehabilitasi.
    • Hakim wajib menilai secara menyeluruh, termasuk latar belakang pelaku, tingkat ketergantungan, dan kondisi sosialnya.

    Sayangnya, masih banyak kasus di mana proses hukum lebih mengejar angka “pengungkapan kasus” ketimbang keadilan substantif.

    Perspektif Keadilan dan Rehabilitasi

    Masyarakat miskin seringkali menjadi korban paling rentan dalam kasus narkotika. Mereka tak punya akses pada bantuan hukum memadai, tak memahami hak-haknya, dan sering tak mampu membela diri ketika dikriminalisasi atas kepemilikan yang bahkan tidak sampai 1 gram.

    Keadilan sejati dalam konteks ini mensyaratkan pendekatan berbasis pemulihan, bukan semata penghukuman. Rehabilitasi wajib menjadi pilihan utama bagi pecandu ringan, sesuai amanat Pasal 54 UU Narkotika.

    Yurisprudensi dan Rekomendasi Kebijakan

    Beberapa pengadilan telah memberikan putusan progresif dengan membebaskan atau mengarahkan terdakwa ke rehabilitasi meski ditemukan barang bukti dalam jumlah kecil. Namun praktik ini masih belum merata, dan penegakan hukum yang adil masih sangat bergantung pada sensitivitas personal aparat.

    Untuk memperbaiki kondisi ini, berikut rekomendasi kebijakan:

    1. Mahkamah Agung perlu mengeluarkan SEMA yang memberi pedoman kuantitatif dan kualitatif dalam membedakan pengguna dan pengedar.
    2. BNN dan Polri harus mengedepankan asesmen terpadu (tim terpadu rehabilitasi) sejak awal penyidikan.
    3. DPR dan Pemerintah perlu merevisi UU Narkotika agar secara tegas membedakan perlakuan terhadap pengguna dan pengedar.
    4. Penegak hukum harus dilatih secara rutin tentang pendekatan berbasis keadilan restoratif dan kesehatan publik.

    Kesimpulan

    Ketika seseorang dengan 0,9 gram sabu langsung dilabeli sebagai pengedar atau bandar, maka yang tercabik bukan hanya nalar hukum, tapi juga nurani keadilan. Negara wajib hadir bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga memulihkan dan melindungi rakyatnya dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang. Narkotika adalah masalah serius, tapi pendekatannya tidak boleh hanya mengandalkan hukuman penjara. Keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga soal hati nurani.

    *Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S. H., Pararegal Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita

  • MENYIKAPI BEBERAPA PROYEK TIDAK BERMANFAAT DI KOTA MOJOKERTO  (Studi analisis hukum dan dampak bagi para pembuat kebijakan) Oleh: H. Rifan Hanum., S.H., M.H*.

    MENYIKAPI BEBERAPA PROYEK TIDAK BERMANFAAT DI KOTA MOJOKERTO (Studi analisis hukum dan dampak bagi para pembuat kebijakan) Oleh: H. Rifan Hanum., S.H., M.H*.

    Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh mangkraknya proyek strategis Kota Mojokerto dengan menggunakan dana rakyat. Hal ini tentunya tidak boleh dilakukan secara serampangan, gegabah dan terkesan coba-coba.

    Proyek senilai milyaran rupiah yang bertujuan untuk kemanfaatan bagi masyarakat khususnya Kota Mojokerto ternodai dengan ketidak hati-hatian para pembuat kebijakannya. Selain itu tidak adanya rasa malu maupun rasa empati melihat proyek yang tidak ada manfaatnya.

    Seharusnya jika mempunyai jiwa-jiwa ksatria, dari mulai Konsultan Perencanaan, Konsultan Pengawas sampai Konsultan Pelaksana berani mengakui jika ia gagal menjalankan suatu tugas yang diminta untuk dikerjakan kepadanya.

    Selain itupula menumbuhkan rasa malu, rasa bersalah kepada para pejabat dari mulai tingkatan Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, PPK sampai Pokja Pengadaan Barang dan Jasa tersebut haruslah dimintai pertanggung jawaban, apalagi ada informasi jika Pemenang Lelang Pengadaan Barang & Jasa tersebut sudah mengakui di Media Massa jika ia memang dikenakan “upeti” oleh Pejabat Lingkungan Dalam Pemkot Mojokerto.

    Begitu hinanya para pejabat kita, yang dibayar gajinya, diberikan berbagai macam fasilitas oleh negara namun masih menjadi tukang palak para kontraktor, hal ini tentunya sangatlah menjijikan namun menjadi kebiasaan yang seakan-akan dibenarkan oleh sebagian pejabat korup kita.

    Uji kelayakan (feasibility study) sangat penting dilakukan sebelum membangun suatu proyek dengan dana negara karena proyek-proyek tersebut menggunakan uang publik yang bersumber dari pajak rakyat. Tujuan utama uji kelayakan adalah untuk memastikan bahwa proyek tersebut layak secara ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, dan hukum, serta dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan risiko yang minimal.

    Alasan Mengapa Uji Kelayakan Diperlukan

    1. Mencegah pemborosan anggaran negara
    2. Menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan dana
    3. Menilai dampak sosial dan lingkungan secara menyeluruh
    4. Mengidentifikasi dan mengurangi risiko kegagalan proyek
    5. Menjadi dasar dalam proses pengambilan keputusan dan persetujuan anggaran
    6. Memastikan kesesuaian dengan rencana pembangunan nasional/daerah

    Dasar Hukum Uji Kelayakan Proyek Negara

    Beberapa regulasi yang menjadi dasar hukum perlunya uji kelayakan proyek pemerintah, antara lain:

    1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
      → Pasal 3: Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab.
    2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
      → Pasal 19: Belanja negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas serta diarahkan untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
    3. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
      → Uji kelayakan termasuk dalam tahapan perencanaan pengadaan dan studi awal proyek.
    4. Permen PPN/Bappenas No. 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, dan Penilaian Proyek Prioritas Nasional
      → Menekankan kewajiban melakukan studi kelayakan sebagai syarat untuk pengusulan proyek strategis nasional (PSN).

     

    Contoh Proyek Tanpa Uji Kelayakan yang Mengakibatkan Kerugian Negara

    Proyek Masalah Estimasi Kerugian
    Hambalang (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga Nasional) Proyek mangkrak karena masalah geoteknik dan hukum, tidak ada studi kelayakan menyeluruh ± Rp 706 miliar (data BPK)
    Bandara Internasional Kertajati (Jawa Barat) Lokasi jauh dari pusat keramaian, kurang analisis pasar dan aksesibilitas Potensi kerugian miliaran karena minim penumpang
    Monorel Jakarta Tidak ada feasibility study yang tuntas, tumpang tindih regulasi, akhirnya dihentikan Dana terbuang untuk perencanaan dan tiang beton terbengkalai
    Pasar Johar Semarang (Revitalisasi 2009-2012) Tidak sesuai kebutuhan pedagang, mangkrak sebelum direvitalisasi ulang Dana APBD/APBN terbuang hingga ratusan juta rupiah

     

    Kesimpulan

    Uji kelayakan bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan langkah strategis untuk menjamin proyek publik berjalan dengan akuntabel, efisien, dan memberi manfaat nyata. Tanpa uji kelayakan, risiko kerugian negara sangat besar, baik dari segi finansial maupun social. Akhirnya Peran Penegak Hukumlah yang sangat dinantikan oleh Masyarakat, agar permasalahan ini tidak menjadi contoh buruk dimasa yang akan dating.

    *Pendiri Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita

  • Bank atau Rentenir Berseragam? Analisis Hukum terhadap Praktik Pembebanan Bunga Berlebihan dan Peran Otoritas Pengawas (Artikel ini berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Ibu Sarotun  Asal Desa Ngingas Rembyong Kec. Sooko Kab Mojokerto melawan Bank Benta Mojokerto)

    Bank atau Rentenir Berseragam? Analisis Hukum terhadap Praktik Pembebanan Bunga Berlebihan dan Peran Otoritas Pengawas (Artikel ini berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Ibu Sarotun Asal Desa Ngingas Rembyong Kec. Sooko Kab Mojokerto melawan Bank Benta Mojokerto)

    Abstrak

    Fenomena lembaga perbankan yang membebankan bunga sangat tinggi hingga utang awal yang hanya Rp3.000.000 membengkak menjadi Rp51.000.000 mencerminkan praktik yang menyimpang dari prinsip keadilan ekonomi dan perlindungan konsumen. Artikel ini mengkaji fenomena tersebut dari perspektif hukum perbankan dan perlindungan konsumen, serta mengevaluasi peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan aparat penegak hukum dalam mengatasi praktik seperti ini. Melalui pendekatan yuridis normatif dan analisis kritis, tulisan ini menyoroti ketimpangan kekuasaan antara lembaga keuangan dan masyarakat miskin, serta perlunya penguatan regulasi dan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan ekonomi.

    Dalam sistem keuangan nasional, bank memiliki kedudukan strategis sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit bank yang justru bertindak layaknya rentenir dengan membebankan bunga dan denda yang sangat tinggi, mengarah pada eksploitasi terhadap nasabah, khususnya dari kelompok masyarakat miskin. Ketika utang pokok sebesar Rp3.000.000 berubah menjadi Rp51.000.000, muncul pertanyaan krusial: apakah ini praktik bisnis yang wajar atau bentuk legalisasi rentenir?

     

    Fenomena Pembebanan Utang yang Tidak Masuk Akal

    Kasus pembengkakan utang dari Rp3 juta menjadi Rp51 juta merupakan contoh nyata dari praktik compound interest (bunga majemuk) yang tidak dikendalikan. Di sisi lain, biaya keterlambatan (late fee), penalti, dan biaya administrasi yang tumpang tindih seringkali tidak diungkapkan secara transparan kepada debitur.

    Praktik semacam ini dapat melanggar:

    • UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 8 tentang larangan mencantumkan klausul yang tidak jelas atau merugikan konsumen.
    • UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang mewajibkan bank menjalankan prinsip kehati-hatian dan transparansi.

    Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    OJK sebagai regulator sektor jasa keuangan memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen dan memastikan praktik lembaga keuangan tidak melanggar prinsip keadilan. Sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, fungsi utama OJK meliputi:

    • Pengawasan terhadap produk dan aktivitas bank.
    • Penyelesaian sengketa melalui LAPS (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa).
    • Edukasi dan perlindungan konsumen sektor keuangan.

    Namun, dalam praktiknya, mekanisme pengawasan preventif terhadap praktik pembebanan bunga berlebihan masih lemah. Banyak aduan masyarakat tidak berujung pada sanksi tegas terhadap bank.

    Peran Bank Indonesia (BI)

    Sebagai bank sentral, BI berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan turut mengatur suku bunga acuan melalui kebijakan moneter. Namun BI juga memegang tanggung jawab moral untuk mendorong prinsip keuangan inklusif, sebagaimana dituangkan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).

    BI dapat:

    • Mendorong kebijakan suku bunga mikro yang adil.
    • Menjadi referensi bagi pembatasan maksimal bunga yang dapat dibebankan bank kepada debitur rentan.
    • Mendorong bank-bank untuk menjalankan pembiayaan berbasis etika, khususnya bagi pelaku UMKM dan kelompok masyarakat bawah.

    Peran Penegak Hukum

    Lemahnya keberpihakan hukum kepada masyarakat miskin juga tampak dalam banyaknya kasus perdata utang piutang yang tidak mempertimbangkan azas keadilan substantif. Dalam kondisi di mana seseorang tidak mampu membayar bukan karena niat jahat, namun karena jerat bunga dan penalti yang tak manusiawi, maka:

    • Penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) harus menilai secara holistik, tidak hanya berdasarkan teks kontrak, tetapi juga asas keadilan dan kepatutan.
    • Perlu dorongan untuk menggunakan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen yang melarang klausul baku yang merugikan konsumen.

    Perspektif Keadilan bagi Masyarakat Miskin

    Masyarakat miskin seringkali berada dalam posisi lemah secara struktural dan informasi. Mereka tidak memiliki daya tawar terhadap klausul kontrak dan sering tidak diberi pemahaman yang cukup tentang konsekuensi keuangan dari utang yang mereka ambil. Ketika utang kecil membengkak drastis, yang dikorbankan adalah hak hidup layak, martabat, dan ketenangan hidup.

    Praktik semacam ini tidak hanya menciptakan jerat utang, tetapi memperpanjang siklus kemiskinan. Hal ini sangat bertentangan dengan:

    • Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
    • Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

    Rekomendasi Kebijakan dan Hukum

    1. OJK perlu menetapkan batas maksimal bunga dan penalti yang diperbolehkan, termasuk transparansi biaya kredit.
    2. Pemerintah dan DPR perlu mengatur regulasi khusus anti-predatory lending di sektor perbankan formal.
    3. BI dan OJK wajib memberikan sanksi tegas terhadap bank yang mempraktikkan pembebanan bunga berlebihan.
    4. Pengadilan harus mulai mengadopsi asas keadilan sosial dan keberpihakan kepada pihak yang lemah secara ekonomi dalam putusan perkara utang.
    5. Edukasi keuangan massal harus digalakkan untuk masyarakat miskin agar mereka mampu mengenali praktik keuangan yang merugikan.

    Ketika lembaga keuangan yang seharusnya menjadi penyelamat justru bertindak seperti rentenir, maka yang tercabik bukan hanya logika hukum, melainkan juga rasa keadilan sosial. Dalam kondisi seperti ini, negara tidak boleh berdiam diri. Keadilan ekonomi bukanlah milik kaum elite semata, tapi hak dasar setiap warga negara, terutama mereka yang berada di titik paling rapuh dalam struktur sosial.

     

    1. Putusan Mahkamah Agung No. 2899 K/Pdt/1994 (15 Februari 1996)

    Putusan ini menetapkan bahwa:

    “Bank yang menyatakan secara tertulis kreditnya sudah macet, maka secara yuridis pada saat itu segala sesuatunya harus dalam status quo, baik mengenai jumlah kredit yang macet tersebut maupun tentang jumlah bayarnya. Tidak dapat diberikan lagi penambahan atas bunga, terhadap jumlah kredit yang sudah dinyatakan macet tersebut.”(Ercolaw)

    Artinya, sejak bank menyatakan suatu kredit sebagai macet, tidak diperkenankan lagi menambahkan bunga atas jumlah kredit tersebut.(Ercolaw)

     

    1. Putusan Mahkamah Agung No. 1021 K/Pdt.Sus-Pailit/2018

    Dalam perkara ini, Mahkamah Agung menguatkan prinsip dari Putusan No. 2899 K/Pdt/1994, menyatakan bahwa setelah kredit dinyatakan macet, bank tidak boleh lagi membebankan bunga tambahan.(Ercolaw)

    1. Putusan Mahkamah Agung No. 2818 K/Pdt/2000

    Putusan ini menegaskan bahwa bunga yang dibebankan tidak boleh melebihi 2% per bulan, sesuai dengan asas kepatutan dan keadilan.

    1. Putusan Mahkamah Agung No. 19/Pdt.G.S/2023/PN Rbg

    Dalam perkara ini, meskipun kredit telah dinyatakan macet, bank tetap membebankan bunga tambahan. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam yurisprudensi sebelumnya.

    Implikasi Hukum

    Yurisprudensi di atas menegaskan bahwa setelah kredit dinyatakan macet, bank tidak diperbolehkan menambahkan bunga tambahan. Hal ini untuk melindungi debitur dari beban yang tidak adil dan memastikan bahwa praktik perbankan tetap dalam koridor hukum yang berlaku.