Tag: KeadilanHukum

  • PERAN PENEGAK HUKUM DALAM MEMBEDAKAN PENGGUNA DAN PENGEDAR DALAM KASUS DENGAN JUMLAH KECIL

    PERAN PENEGAK HUKUM DALAM MEMBEDAKAN PENGGUNA DAN PENGEDAR DALAM KASUS DENGAN JUMLAH KECIL

    Maraknya kasus narkotika di Indonesia tidak hanya menimbulkan keprihatinan moral, tetapi juga menyisakan problematika hukum. Salah satu persoalan mendasar adalah kesulitan dalam membedakan antara pengguna dan pengedar narkoba, terutama dalam kasus dengan jumlah kepemilikan kecil, seperti 0,9 gram sabu. Artikel ini menganalisis problem tersebut dari sudut pandang hukum pidana, HAM, dan keadilan restoratif. Tulisan ini juga mengevaluasi peran polisi, jaksa, dan hakim dalam menerapkan asas keadilan substantif, bukan semata-mata kepastian hukum formalistik yang kaku.

    Realita Hukum Antara Penegakan dan Kriminalisasi Berlebihan

    Dalam berbagai kasus narkotika, tidak sedikit masyarakat kecil yang terjebak dalam jerat pidana berat meskipun hanya terbukti memiliki narkoba dalam jumlah sangat kecil. Contoh paling mencolok adalah ketika seseorang dengan kepemilikan sabu 0,9 gram langsung dituntut sebagai pengedar atau bahkan bandar berdasarkan Pasal 114 UU Narkotika. Pertanyaannya: apakah ini cerminan ketegasan hukum, atau justru bentuk kriminalisasi berlebihan?

    UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang memberi ruang multitafsir, khususnya terkait batasan antara “pengguna” dan “pengedar.” Akibatnya, aparat penegak hukum sering kali menggunakan pendekatan kuantitas semata tanpa menilai konteks sosial dan psikologis pelaku.

    Pasal-Pasal Karet dan Potensi Pelanggaran HAM

    Pasal 111 hingga 114 UU Narkotika kerap digunakan secara mekanistik, di mana berat barang bukti menjadi penentu tunggal status hukum pelaku. Padahal, dalam praktiknya:

    • Tidak ada batas berat yang secara eksplisit membedakan pengguna dari pengedar dalam UU Narkotika.
    • Tidak jarang pengguna yang mengalami kecanduan justru diperlakukan seperti penjahat kelas berat.
    • Penahanan dan pemidanaan terhadap pecandu ringan berkontribusi terhadap over kapasitas lembaga pemasyarakatan, tanpa menyelesaikan akar persoalan.

    Hal ini berpotensi melanggar prinsip non-discrimination dan fair trial sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

    Peran Penegak Hukum Antara Hukum dan Nurani

    Aparat penegak hukum sejatinya memegang peran sentral dalam membedakan mana pengguna yang membutuhkan rehabilitasi dan mana pengedar yang pantas dihukum berat. Dalam hal ini:

    • Polisi harus mengedepankan pendekatan investigasi kontekstual: apakah ada alat bukti lain seperti timbangan, plastik klip, rekam jejak transaksi.
    • Jaksa harus berani memilah perkara yang layak dilanjutkan ke pengadilan, dan mana yang sebaiknya diarahkan ke rehabilitasi.
    • Hakim wajib menilai secara menyeluruh, termasuk latar belakang pelaku, tingkat ketergantungan, dan kondisi sosialnya.

    Sayangnya, masih banyak kasus di mana proses hukum lebih mengejar angka “pengungkapan kasus” ketimbang keadilan substantif.

    Perspektif Keadilan dan Rehabilitasi

    Masyarakat miskin seringkali menjadi korban paling rentan dalam kasus narkotika. Mereka tak punya akses pada bantuan hukum memadai, tak memahami hak-haknya, dan sering tak mampu membela diri ketika dikriminalisasi atas kepemilikan yang bahkan tidak sampai 1 gram.

    Keadilan sejati dalam konteks ini mensyaratkan pendekatan berbasis pemulihan, bukan semata penghukuman. Rehabilitasi wajib menjadi pilihan utama bagi pecandu ringan, sesuai amanat Pasal 54 UU Narkotika.

    Yurisprudensi dan Rekomendasi Kebijakan

    Beberapa pengadilan telah memberikan putusan progresif dengan membebaskan atau mengarahkan terdakwa ke rehabilitasi meski ditemukan barang bukti dalam jumlah kecil. Namun praktik ini masih belum merata, dan penegakan hukum yang adil masih sangat bergantung pada sensitivitas personal aparat.

    Untuk memperbaiki kondisi ini, berikut rekomendasi kebijakan:

    1. Mahkamah Agung perlu mengeluarkan SEMA yang memberi pedoman kuantitatif dan kualitatif dalam membedakan pengguna dan pengedar.
    2. BNN dan Polri harus mengedepankan asesmen terpadu (tim terpadu rehabilitasi) sejak awal penyidikan.
    3. DPR dan Pemerintah perlu merevisi UU Narkotika agar secara tegas membedakan perlakuan terhadap pengguna dan pengedar.
    4. Penegak hukum harus dilatih secara rutin tentang pendekatan berbasis keadilan restoratif dan kesehatan publik.

    Kesimpulan

    Ketika seseorang dengan 0,9 gram sabu langsung dilabeli sebagai pengedar atau bandar, maka yang tercabik bukan hanya nalar hukum, tapi juga nurani keadilan. Negara wajib hadir bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga memulihkan dan melindungi rakyatnya dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang. Narkotika adalah masalah serius, tapi pendekatannya tidak boleh hanya mengandalkan hukuman penjara. Keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga soal hati nurani.

    *Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S. H., Pararegal Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita