Dugaan Pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak PT AMJ, terus dilakukan alih-alih menyelesaikan persoalan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), beberapa kali diprotes warga dikarenakan pembangunan tahap 3 – 4, fasum fasos yang belum terpenuhi dengan baik, pembangunan diarea membahayakan (dibawa sutet) sampai mengakibatkan dampak ketidak rukunan warga setempat.
Perumahan yang berdiri pada kisaran tahun 2020 di Dusun Clangap Desa Mlirip Kecamatan Jetis, terus menerus menjadi polemik dimasyarakat. Dikarenakan adanya dugaan proses perizinannya sarat dengan rekayasa. Bagaimana bisa belum turun izin IMB (sekarang PBG) sudah ada pembangunan bahkan ada puluhan orang yang membeli rumah tersebut dan sekarang sudah ditempati.
Ada beberapa kali protes dari masyarakat yang diwakili oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satunya LSM Lira Kecamatan Jetis melakukan kerja-kerja advokasi dengan melakukan hearing dengan DPRD Kab Mojokerto sampai jajaran terkait namun hasilnya tetap tidak dipatuhi oleh Pihak Pengembang.
Dalam pertemuan pada tanggal Selasa, 8 November 2022, DPUPR, DPMPTSP, BAPEDA, Satpol PP, Bagian Hukum, Camat Jetis, Kepala Desa Mlirip dan Pihak Pengembang PT. AMJ. Yang menghasilkan rekomendasi Pihak Pengembang tidak boleh melakukan aktivitasnya , yaitu pembangunan. Namun, hal ini tidak diindahkan. Pihak Pengembang seolah kebal hukum dan arogan untuk melawan hukum.
Yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah Pejabat yang mengizinkan pendirian perumahan lokasi tersebut, karena menurut aturannya pengembang tidak boleh asal mendirikan kawasan perumahan. Hal ini tentunya menjadi tanda tanya berkepanjangan bagi masyarakat sekitar.
“Larangan pengembang perumahan mendirikan bangunan perumahan diluar kawasan yang telah ditentukan (status LSD), diancam kurungan penjara 2 tahun atau denda Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah“. Pasal 156 UU No 1/2011. Itu artinya jika suatu kawasan belum diangkat status LSD-nya maka secara otomatis dia terancam dikenakan pasal ini.
Terlebih lagi bagi pejabat yang dikarenakan jabatannya bertugas/ berwenang mengeluarkan izin bagi pengembang perumahan untuk mendirikan suatu bangunan, padahal ia tahu jika kawasan itu tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang, maka pejabatnya bisa dijerat pidana dengan ancaman penjara selama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Pasal 158 UU a quo.
Selain itu pasal yang bisa disangkakan bagi para pengembang yang membangun perumahan yang bisa membahayakan barang ataupun orang ia diancam dengan kurungan penjara 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pasal 157 UU a quo.
Dalam penjelasan Pasal 140 disebutkan Yang dimaksud dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya antara lain, sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sempadan Sungai (DSS), daerah rawan bencana, dan daerah kawasan khusus seperti kawasan militer.
Sedangkan kita ketahui bersama jika PT AMJ, membangun perumahan di Dusun Clangap Desa Mlirip sebagian rumah dibangun persis dibawah Sutet.
Menjadi pertanyaan yang sangat mendasar bagi masyarakat desa sekitar, bagaimana bisa pejabatnya memberikan perizinannya kepada PT tersebut, apakah tidak dicek, diverifikasi luasannya berapa hektar yang akan dibangun perumahan, apakah status lahannya memang sudah benar untuk permukiman penduduk, apakah memang rencana lokasi dan rencana teknis yang meliputi rencana jumlah dan jenis prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang terintegrasi dengan perumahan yang sudah ada serta lingkungan hunian lainnya. Yang dimaksud dengan “rancangan” adalah desain teknis untuk mewujudkan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan. (vide: penjelasan Pasal 47 Ayat 2).
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman, Pasal 146 Ayat 1 yang intinya jika pengembang membangun prasana sarana dan utilitas tidak sesuai dengan rencana, rancangan maupun perizinan (yang diajukan), maka ia terancam sanksi administratif pembekuan perizinan, pencabutan PBG (dulu IMB), Pembongkaran Bangunan sampai denda paling banyak Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).
Selain itu pula, patut dipertanyakan Sertifikat Keahlian (SKK) yang merencanakan dan merancang ketersedian Prasarana, Sarana dan Utilitas sampai pembangunan perumahan. Hal ini diwajibkan dalam PP tersebut untuk dipenuhi. (Pasal 128 dan 130 PP 12/2021). Sanksinya selain pencabutan perizinan sampai denda untuk pengusaha perorangan sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
Selanjutnya menunggu peranan para penegak hukum dan instansi yang membidangi masalah tersebut, apakah berani menegakan peraturan dengan mengusut tuntas permasalah ini ataukah peraturan tersebut hanya dijadikan pemanis dalam kehidupan.
*Penulis merupakan Pendiri Kantor Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita, saat ini sedang menyelesaikan Studi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Univesitas 17 Agustus 1945 Surabaya.