KANTOR FIRMA HUKUM
H. RIF'AN HANUM & NAWACITA

Konsultan Hukum | Advokat | Kurator| Paralegal | Konsultan Pajak |

Author name: Rif'an Hanum

opini

KENAPA PROFESI POLISI TERUS MENERUS DISOROT NEGATIF

Menyangsikan kinerja Kepolisian maupun Kejaksaan sehingga menimbulkan banyak prespektif bahkan penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku maupun korban tindak pidana. Kejanggalan sampai bahkan ketidak adilan di muka hukum seringkali kita dengar, apalagi jika aktivitas kita yang bersentuhan secara langsung dengan proses litigasi maupun non litigasi. Tulisan ini berdasarkan analisis yang mendalam terkait beberapa kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum kita, baik itu mewakili sebagai pelapor maupun terlapor. Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang seharusnya menjadi pusat proses (tata cara) pencari keadilan seringkali ditemukan penyimpangan yang jika dibiarkan terus menerus akan menjadi “hukum kebiasaan” yang terjadi dilingkungan para penegak hukum di negara ini. Mengacu pada pengakuan dari salah satu terpidana dugaan salah tangkap kasus pembunuhan vina, bernama Saka Tatal yang baru saja menjalani masa hukumannya selama 8 tahun. Jika memang kasus ini tidak diangkat dilayar lebar maka dipastikan korban dugaan salah tangkap ini tidak akan pernah terungkap. Didalam pengakuannya ketika diwawancarai oleh beberapa stasiun televisi ia menyatakan dengan suara gemetar penuh ketakutan telah mengalami berbagai macam penyiksaan baik fisik maupun psikis, hal ini dikarenakan penyidik kita masih mengejar pengakuan tersangka daripada keterhubungan  antara peristiwa hukum dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Padahal kita tahu bahwa pengakuan tersangka dihadapan penyidik bukanlah salah satu bukti sebagaimana amanat Pasal 184 Ayat (1). Kita-pun yang tidak merasakan dampaknya secara langsung akan peristiwa tersebut tentunya tidak bisa menutup mata, banyak kejadian-kejadian serupa yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini, bahkan berdasarkan survey Transparency International (TI) https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2022-mengalami-penurunan-terburuk-sepanjang-sejarah-reformasi/. Ini seharusnya menjadi penyemangat pemerintah maupun segenap jajarannya agar dimasa-masa yang akan datang negara ini, agar negara ini tidak mengalami rusaknya stabilitas politik, sosial, dan ekonomi yang pada akhirnya akan mengancam perdamaian, keselamatan, dan keamanan secara luas. Korupsi juga mampu menciptakan lahan subur bagi, gembong narkoba, mafia pertanahan, mafia peradilan, mafia perizinan, mafia pertambangan, kejahatan terorganisir, terorisme, bahkan perang, karena impunitas terus terjadi melalui keterlibatan pejabat publik dan penegak hukum yang korup. Hanya bisa membayangkan (dengan mengelus dada), setiap proses yang dijalani seseorang yang salah tangkap dikarenakan sebelum menjalani vonis penjara, seseorang akan mengalami tahapan demi tahapan yang sangat panjang nan melelahkan. Dari proses penangkapan, penahanan, sampai menjalani sidang di pengadilan. Banyak pihak yang diikut sertakan dari mulai pihak penyidik polri, kejaksaan sampai hakim belum lagi dari pihak keluarga terduga pelaku tindak pidana yang dituduhkan. Dalam analisa orang normal tentunya korban dugaan salah tangkap bahkan salah penuntutan sampai salah vonis seakan-akan tidak mungkin terjadi, tapi itulah bahayanya mafia peradilan/ mafia hukum jika berjalan dengan sistematis. Siapapun bisa terkena perlakuan sewenang-wenang aparat penegak hukum (arbitrary procces), yang salah bebas berkeliaran yang tidak pernah melakukan pidana malah dihukum, tentunya juga kita tidak menafikan kerja-kerja apparat hukum lainnya yang baik dan sesuai prosedural. Maka, tulisan ini akan membahasnya bagaimana jika kita/ keluarga kita mengalami hal serupa dimasa –masa yang akan datang. 1. Dijadikan Tersangka padahal kita tidak merasa/ tidak pernah melakukan Tindak Pidana Selain Saka Tatal juga pernah kejadian salah tangkap yang cukup menggegerkan publik yaitu kasus Rian “Jagal Jombang”. Rian sebelum ditahan, Hambali alias Kemat (26) dan Devid Eko Priyanto (17), warga Desa Kalangsemanding. Keduanya divonis 17 dan 12 tahun penjara.(Sumber: https://news.detik.com/berita/d-995834/ryan-bunuh-asrori-polisi-salah-tangkap). Namun berdasarkan hasil tes DNA yang dirilis oleh Mabes Polri, bahwa mayat yang ditemukan di kebun tebu itu diidentifikasi sebagai Fauzin Suyanto, warga Jalan MT Haryono 24 Nganjuk, Jawa Timur. Setelah melalui jalan dan perdebatan panjang, akhirnya polisi mengakui telah salah tangkap dalam menangani kasus penemuan mayat di kebun tebu. Pada akhirnya, pada Desember 2008, Hambali alias Kemat dan Devid dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah.(Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/07/150000379/kasus-kemat-dan-devid-korban-salah-tangkap-di-jombang?page=all). Kejadian-kejadian serupa tentunya sangatlah banyak atau marak terjadi, khususnya dalam perkara tindak pidana penyalahan narkoba, penegak hukum dalam hal ini seringkali menggunakan metode yang seharusnya diharamkan oleh para penegak hukum itu sendiri. Teknik Penyidikan Pembelian Terselebung dan penyerahan di bawah pengawasan (undercover buy atau controlled delivery), adalah metode yang sangat usang/ kuno, seharusnya tidak boleh dilakukan dengan pengecualian jika metode tersebut digunakan untuk membongkar jaringan narkoba kelas kakap dengan omzet berates-ratus milyard atau pejabat yang korup (OTT KPK). Bukan dikenakan kepada perkara-perkara narkoba recehan atau kelas ecek-ecek dengan pembelian 1-2 poket sabu-sabu. Jika kita protes kepada penyidik, ia akan berpegangan kepada pasal 75 dan 79 UU Narkotika yaitu penyidik berwenang untuk melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) atas perintah tertulis dari pimpinan. Jika kita kejar lagi mana perintah dari pimpinan selalu akan menjawab itu bukan kewenangan dari pihak pengacara/ pembela. Padahal jika ia memang selaku penyidik cerdas tentunya akan sangat memahami hak-hak dari calon terduga tersangka maupun pembelanya. Putusan Hakim  Mahkamah Agung Nomor 10 K/Pid.Sus/2015 dan Nomor 363 K/Pid.Sus/2015, jelas-jelas telah melarang teknik penjebakan yang dilakukan oleh penyidik kecuali jika memang untuk membongkar jaringan narkoba yang mempunyai dampak sangat luas bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan juga Penjebakan (Operasi Tangkap Tangan/ OTT KPK) yang dilakukan kepada pejabat karena dugaan korupsi. Menggoda atau menjerumuskan seseorang untuk menjerat prilaku kepidanaannya, mempunyai garis yang sangatlah tipis dan perlu pembuktian di pengadilan, apakah memang ia melakukan itu atas dasar kesadarannya atau atas dasar untuk tergoda untuk melakukannya atau bahkan tidak ada pilihan lain selain melakukannya. Selain putusan Mahkamah Agung juga bisa kita pelajari perkara yang menimpa atas nama Andika Tri Oktaviani melalui Putusan Nomor 454 K/Pid.Sus/2011 di mana ia dijebak atas kepemilikan 1 paket sabu-sabu. Andika pun dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Pada 2014, Hakim di Pengadilan Negeri Muaro juga memutus bebas seorang terdakwa yang dianggap dijebak oleh aparat penegak hukum. Belajar dari kasus Andika Tri Oktaviani, penyidik juga bisa dilaporkan balik dengan dugaan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 318 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain sehingga menimbulkan suatu perbuatan pidana, diancam hukuman 4 tahun. Dengan catatan korbannya berani melaporkan (baca: delik aduan – kebanyakan tentunya mengalami trauma yang mendalam). Selain itu terdapat pula Pasal 421 dan 422 KUHP terkait pejabat (dalam hal ini penyidik kepolisian) terindikasi melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan paksaan untuk memperoleh keterangan secara melawan hukum. 2. Perintah Tertulis Untuk Penahanan dan Penangkapan Mungkin pembaca seringkali mendengar atau bahkan mengalami, surat penahanan maupun penangkapan dikirimkan melalui pos/ kurir setelah lewat masa 1 x

opini

SATPOL PP MANDUL TERKAIT PENERTIBAN PERIZINAN PERUMAHAN

Dugaan Pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak PT AMJ, terus dilakukan alih-alih menyelesaikan persoalan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), beberapa kali diprotes warga dikarenakan pembangunan tahap 3 – 4, fasum fasos yang belum terpenuhi dengan baik, pembangunan diarea membahayakan (dibawa sutet) sampai mengakibatkan dampak ketidak rukunan warga setempat. Perumahan yang berdiri pada kisaran tahun 2020 di Dusun Clangap Desa Mlirip Kecamatan Jetis, terus menerus menjadi polemik dimasyarakat. Dikarenakan adanya dugaan proses perizinannya sarat dengan rekayasa. Bagaimana bisa belum turun izin IMB (sekarang PBG) sudah ada pembangunan bahkan ada puluhan orang yang membeli rumah tersebut dan sekarang sudah ditempati. Ada beberapa kali protes dari masyarakat yang diwakili oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satunya LSM Lira Kecamatan Jetis melakukan kerja-kerja advokasi dengan melakukan hearing dengan DPRD Kab Mojokerto sampai jajaran terkait namun hasilnya tetap tidak dipatuhi oleh Pihak Pengembang. Dalam pertemuan pada tanggal Selasa, 8 November 2022, DPUPR, DPMPTSP, BAPEDA, Satpol PP, Bagian Hukum, Camat Jetis, Kepala Desa Mlirip dan Pihak Pengembang PT. AMJ. Yang menghasilkan rekomendasi Pihak Pengembang tidak boleh melakukan aktivitasnya , yaitu pembangunan. Namun, hal ini tidak diindahkan. Pihak Pengembang seolah kebal hukum dan arogan untuk melawan hukum. Yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah Pejabat yang mengizinkan pendirian perumahan lokasi tersebut, karena menurut aturannya pengembang tidak boleh asal mendirikan kawasan perumahan. Hal ini tentunya menjadi tanda tanya berkepanjangan bagi masyarakat sekitar. “Larangan pengembang perumahan mendirikan bangunan perumahan diluar kawasan yang telah ditentukan (status LSD), diancam kurungan penjara 2 tahun atau denda Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah“. Pasal 156 UU No 1/2011. Itu artinya jika suatu kawasan belum diangkat status LSD-nya maka secara otomatis dia terancam dikenakan pasal ini. Terlebih lagi bagi pejabat yang dikarenakan jabatannya bertugas/ berwenang mengeluarkan izin bagi pengembang perumahan untuk mendirikan suatu bangunan, padahal ia tahu jika kawasan itu tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang, maka pejabatnya bisa dijerat pidana dengan ancaman penjara selama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Pasal 158 UU a quo. Selain itu pasal yang bisa disangkakan bagi para pengembang yang membangun perumahan yang bisa membahayakan barang ataupun orang ia diancam dengan kurungan penjara 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pasal 157 UU a quo. Dalam penjelasan Pasal 140 disebutkan Yang dimaksud dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya antara lain, sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sempadan Sungai (DSS), daerah rawan bencana, dan daerah kawasan khusus seperti kawasan militer. Sedangkan kita ketahui bersama jika PT AMJ, membangun perumahan di Dusun Clangap Desa Mlirip sebagian rumah dibangun persis dibawah Sutet. Menjadi pertanyaan yang sangat mendasar bagi masyarakat desa sekitar, bagaimana bisa pejabatnya memberikan perizinannya kepada PT tersebut, apakah tidak dicek, diverifikasi luasannya berapa hektar yang akan dibangun perumahan, apakah status lahannya memang sudah benar untuk permukiman penduduk, apakah memang rencana lokasi dan rencana teknis yang meliputi rencana jumlah dan jenis prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang terintegrasi dengan perumahan yang sudah ada serta lingkungan hunian lainnya. Yang dimaksud dengan “rancangan” adalah desain teknis untuk mewujudkan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan. (vide: penjelasan Pasal 47 Ayat 2). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman, Pasal 146 Ayat 1 yang intinya jika pengembang membangun prasana sarana dan utilitas tidak sesuai dengan rencana, rancangan maupun perizinan (yang diajukan), maka ia terancam sanksi administratif pembekuan perizinan, pencabutan PBG (dulu IMB), Pembongkaran Bangunan sampai denda paling banyak Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah). Selain itu pula, patut dipertanyakan Sertifikat Keahlian (SKK) yang merencanakan dan merancang ketersedian Prasarana, Sarana dan Utilitas sampai pembangunan perumahan. Hal ini diwajibkan dalam PP tersebut untuk dipenuhi. (Pasal 128 dan 130 PP 12/2021). Sanksinya selain pencabutan perizinan sampai denda untuk pengusaha perorangan sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Selanjutnya menunggu peranan para penegak hukum dan instansi yang membidangi masalah tersebut, apakah berani menegakan peraturan dengan mengusut tuntas permasalah ini ataukah peraturan tersebut hanya dijadikan pemanis dalam kehidupan.   *Penulis merupakan Pendiri Kantor Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita, saat ini sedang menyelesaikan Studi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Univesitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Kami di Kantor Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita percaya bahwa kepercayaan klien adalah yang utama, dan kami selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik di setiap langkah hukum yang kami tempuh bersama klien kami.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

Important Links

Customer Spotlight

Customer Service

Marketing

FAQ

Company

About Us

Projects

Team Members

Services

Kontak Kami

rifanhanum@gmail.com

+62 816-533-510
+62 811-3422-86

Jl. Raya Sidoharjo No.07, Simpang, Sidoharjo, Kec. Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur 61351

© 2024 Created

Scroll to Top