Dari Korupsi hingga Mark-Up: Mengapa Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Sulit Bersih?
Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan Pemerintah merupakan salah satu sektor penting dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang dikelola baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Sektor tersebut meliputi berbagai kepentingan Pemerintahan seperti distribusi pajak, pelayanan publik dan pembangunan. Namun, secara realitasnya meskipun Sistem Pengadaan Barang dan Jasa menjadi salah satu sektor yang penting dan strategis, sektor tersebut telah sejak lama menjadi praktik ladang korupsi yang melibatkan Pemerintah sebagai pelaksana dengan peran Swasta selaku pemasok atau penyedia barang dan jasa[1].
Apabila ditelisik melalui peraturan perundang-undangan, pengadaan barang dan jasa secara yuridis diatur melalui beberapa peraturan yang diantaranya:
- Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pada Pasal 6 s/d Pasal 10 diatur mengenai kewenangan Presiden (pengelolaan keuangan dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan), Menteri Keuangan yang melakukan pengelolaan terhadap Fiskal, Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/Lembaga dan pengelolaan keuangan derah.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dalam Pasal 1 angka (1) pengertian Perbendaharaan Negara berbunyi “pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”.
- Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahan keduanya yakni Perpres No. 46 Tahun 2025tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dicabut sebagian melalui UU No. 1 Tahun 2023tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Meskipun terdapat berbagai macam regulasi yang mengatur terkait dengan pengadaan barang dan jasa, namun dalam praktiknya berbagai regulasi yang telah dibuat dan diatur sedemikian rupa justru dimanfaatkan untuk memenuhi kepuasan pribadi baik dalam segi ekonomi dan politik dengan berbagai cara yang dapat dikatakan manipulatif melibatkan Pemerintah dan Pelaku Usaha (swasta). Hal ini ditunjukkan dalam Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2024 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang memaparkan bahwa Sektor Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terjadi praktik korupsi. Pernyataan tersebut didukung oleh data yang menunjukkan penyalahgunaan pengelolaan PBJ mencapai 97% di kementerian/lembaga dan 99% di pemerintah daerah (berdasarkan 53% responden internal), lebih lanjut temuan SPI dalam pengelolaan PBJ, di antaranya 49% pemilihan pemenang vendor yang sudah diatur semakin banyak, 56% kualitas barang tidak sesuai dengan harga PBJ, dan 38% hasil pengadaan tidak memberikan manfaat, 71% tindakan nepotisme meningkat semakin drastis dan ditemui 46% gratifikasi dari pemberian vendor ke penyelenggara negara dalam proses PBJ, serta Hasil SPI 2024 juga mengungkapkan adanya praktik hubungan kekerabatan dan kolusi dalam proses pengadaan barang dan jasa sebanyak 9%[2].
Dengan adanya data temuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam modus atau praktik ilegal yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan maksimal dalam sektor pengadaan barang dan jasa dilingkungan pemerintahan baik pusat ataupun daerah. Berikut rangkuman beberapa modus korupsi yang biasanya dilakukan dalam sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ):
- Pengaturan Tender Lelang (pemilihan pemenang Tender yang telah diatur)
Pengaturan ini menunjukkan adanya persekongkolan yang melibatkan pejabat baik di Pusat maupun Daerah (selaku pelaksana) dengan Pihak yang mengikuti Tender Lelang, hal ini terlihat dari adanya pemenang tender yang seolah telah ditentukan sebelumnya siapa yang akan memenangkan Lelang tersebut[3].
- Kenaikan Harga Mark Up yang melambung tinggi (Price Mark Up)
Kenaikan tersebut dapat dicontohkan seperti pada sebuah kasus pembelian bahan pembangunan fasilitas publik, yang ditemukan harga pembelian barang yang relative mahal dibanding dengan harga dipasaran. Tentunya hal ini akan menimbulkan sebuah akibat pemborosan anggaran negara dengan kualitas barang yang tidak sebagaimana mestinya.
- Pembayaran, Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif
Contoh Kasus: Terdapat sebuah dana yang telah dicairkan dengan tujuan untuk pembelian seragam gratis untuk siswa dan siswi disekolah. Namun, dalam hal ini seragam tersebut hingga waktu yang cukup lama tidak pernah diketahui kapan akan tersedia. Hal ini dikarenakan dana tersebut justru dipergunakan/dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan masuk kerekening oknum yang tidak bertanggungjawab.
- Budaya Suap dan Gratifikasi dalam Proses Pengadaan
Budaya ini biasanya dilakukan oleh peserta Lelang dengan cara menyuap atau memberikan sejumlah uang/barang tertentu kepada oknum pejabat pemerintah dengan tujuan untuk memenangkan suatu proyek tertentu.
Berbagai modus sebagaimana disebutkan diatas, menunjukkan bahwa sektor Pengadaan Barang dan Jasa merupakan salah satu sektor yang mudah untuk menjadi ladang korupsi oleh pemerintah dan oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Lebih lanjut, mengapa sistem Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah sulit untuk bersih dari budaya korupsi, suap maupun gratifikasi, diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut[4]:
- Kompleksnya Proses Pengadaan dan Pembuktian Korupsi
Proses Pengadaan Barang dan Jasa memerlukan serangkaian prosedur administrasi, dan teknis yang cukup rumit. Prosedur yang rumit tersebut memberikan sebuah celah bagi oknum tertentu untuk memanfaatkannya guna menyembunyikan kejahatannya dengan berbagai cara seperti: pemalsuan dokumen, ketidaklengkapan dokumen dan manipulasi dokumen, yang berakibat sulitnya pembuktian kejahatan tersebut.
- Independensi Aparat Penegak Hukum dan Lemahnya Pengawasan
Tekanan pejabat atau oknum tertentu seringkali harus dihadapi oleh Aparat Penegak Hukum yang menimbulkan sebuah akibat melemahnya independensi dalam proses atau prosedur penegakan hukum. Lebih lanjut pengawasan yang lemah baik oleh pengawas internal (inspectoral daerah), pengawas eksternal (BPK, BPKP dan KPK) dan pengawas public yang seolah hanya bersifat formalitas dan menggugurkan kewajiban administrative juga menjadi faktor penunjang mengapa praktik korupsi PBJ masih terus berlangsung hingga saat ini.
- Regulasi yang Tumpang Tindih
Pengaturan regulasi sektor pengadaan barang dan jasa beserta dengan ketentuan pidana yang dapat menjerat pelaku baik pemerintah selaku penyelenggara maupun peserta pelaksana seringkali menimbulkan interpretasi yang berbeda sehingga berakibat pada lambatnya proses penegakan hukum.
- Resistensi Oknum Terkait
Resistensi tersebut tercermin dengan rendahnya hukuman yang diterima oleh pelaku korupsi sektor pengadaan barang dan jasa serta lamanya proses pengadilan yang berakibat pelaku seolah tidak takut dengan serangkaian proses yang akan dijalani nantinya.
- Kurangnya Kesadaran Publik
Kurangnya kesadaran masyarakat juga menjadi salah satu hal negative yang dapat menimbulkan sebuah akibat minimnya pengawasan dan pelaporan korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan oknum terkait terkhusus dibidang pengadaan barang dan jasa.
Kesimpulan:
Alasan mengapa sektor Pengadaan Barang dan Jasa yang seharusnya menjadi proyek yang strategis namun harus berubah menjadi ladang korupsi yang seolah subur, memberikan sebuah kesadaran bahwa pengadaan barang dan jasa seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah transaksi antara pemerintah sebagai penyelenggara dan pihak swasta sebagai pelaksana. Namun penting untuk disadari seharusnya PBJ merupakan sebuah cerminan integritas, etika, dan komitmen dari pemerintah kepada rakyat. Sehingga dalam hal ini PBJ seharusnya menjadi sebuah proyek dan sarana pembangunan yang adil guna mewujudkan masyarakat yang berkembang dan sejahtera bukan ladang kecurangan yang sistematis.
[1] Rasina Padeni Nasution, Calvin, “Keterlibatan Sektor Swasta Dalam Praktik Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Daerah: Tinjauan Hukum Dan Etika Bisnis”, Vol 6 No.1, Journal Penelitian Hukum Indonesia, 2025, hlm,1-2.
[2] Komisi Pemberantasan Korupsi, (2024), Pengadaan Barang dan Jasa, Sektor Paling Rentan Korupsi di Temuan SPI 2024, Diakses dari laman: Pengadaan Barang dan Jasa, Sektor Paling Rentan Korupsi di Temuan SPI 2024 pada tanggal 18/08/2025 pukul 20.34 WIB.
[3] Liliek Dwy Prasetio, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Di Indonesia”, Vol 2 No 3, The Presecutor Law Review, 2024, hlm.115.
[4] Rasina Padeni Nasution, Calvin, “Keterlibatan Sektor Swasta Dalam Praktik Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Daerah: Tinjauan Hukum Dan Etika Bisnis”, Vol 6 No.1, Journal Penelitian Hukum Indonesia, 2025, hlm,9-10.