Bagi setiap pasangan, perkawinan merupakan impian untuk mewujudkan kebahagiaan bersama. Tidak sedikit pasangan yang bekerja keras demi melangsungkan pernikahan dengan orang yang dicintai. Namun, jodoh tidak selalu dapat ditentukan sendiri. Bisa saja jodoh seseorang adalah teman, sahabat, bahkan orang asing (Warga Negara Asing/WNA). Sebagian orang beranggapan bahwa menikah dengan WNA, khususnya dari negara lain, memiliki daya tarik tersendiri, misalnya dianggap dapat memperbaiki keturunan.
Apabila Warga Negara Indonesia (WNI) memutuskan untuk menikah dengan WNA, terlebih jika pernikahan dilangsungkan di luar negeri, ada kewajiban yang harus diperhatikan. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan di luar negeri harus dicatatkan di Indonesia paling lambat 1 (satu) tahun setelah kembali. Apabila tidak dicatatkan, perkawinan tersebut tidak diakui secara hukum di Indonesia.
Salah satu isu penting dalam perkawinan campuran adalah perjanjian pranikah (prenuptial agreement). Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian pranikah dapat dibuat sebelum atau selama perkawinan berlangsung, atas kesepakatan kedua belah pihak, dan berlaku mengikat bagi kedua belah pihak selayaknya diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian ini tidak bersifat wajib, namun dalam perkawinan campuran, keberadaannya sering kali dianggap penting untuk mengantisipasi permasalahan hukum di kemudian hari.
Beberapa alasan pentingnya perjanjian pranikah dalam perkawinan campuran antara lain:
- Perlindungan Kepemilikan Tanah
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hanya WNI yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Tanpa perjanjian pranikah, harta yang diperoleh setelah menikah dianggap sebagai harta bersama. Apabila salah satu pihak adalah WNA dan wasiat tersebut jatuh kepadanya tanpa adanya perjanjian pranikah sebelumnya, maka hak milik atas tanah dapat gugur dan tanah harus dilepaskan kepada negara sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan perjanjian pranikah yang memisahkan harta, WNI tetap dapat memiliki tanah atas nama pribadi.
- Perlindungan Kepentingan Anak
Anak hasil perkawinan campuran pada dasarnya memiliki kewarganegaraan ganda terbatas sampai usia 18 tahun atau menikah, maka dalam hal ini didasarkan pada ketentutan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, seorang anak berkewarganegaraan ganda harus memilih salah satu dari kedua kewarganegaraan tersebut. Mengacu pada Pasal 26 ayat (2) UUPA, apabila anak berkewarganegaraan ganda memperoleh hak milik atas tanah, maka hak tersebut batal demi hukum dan tanah kembali menjadi milik negara. Perjanjian pranikah dapat membantu mengatur agar kepemilikan harta, termasuk tanah, tetap aman secara hukum.
- Perlindungan Kepentingan Lain
Perjanjian pranikah juga dapat digunakan untuk mengatur kepemilikan harta bergerak maupun tidak bergerak, serta pembagian hak dan kewajiban suami-istri. Hal ini dapat meminimalkan sengketa apabila terjadi perceraian atau salah satu pihak meninggal dunia terkhusus pada pasangan WNA dan WNI.
Kesimpulan:
Dalam perkawinan campuran, perjanjian pranikah dapat menjadi instrumen hukum yang melindungi kepentingan kedua belah pihak, baik dalam hal harta, hak kepemilikan tanah, maupun perlindungan anak. Meskipun tidak diwajibkan secara hukum, pembuatannya sangat dianjurkan untuk mencegah timbulnya masalah di masa depan.