KANTOR FIRMA HUKUM
H. RIF'AN HANUM & NAWACITA

Konsultan Hukum | Advokat | Kurator| Paralegal | Konsultan Pajak |

KENAPA PROFESI POLISI TERUS MENERUS DISOROT NEGATIF

Menyangsikan kinerja Kepolisian maupun Kejaksaan sehingga menimbulkan banyak prespektif bahkan penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku maupun korban tindak pidana. Kejanggalan sampai bahkan ketidak adilan di muka hukum seringkali kita dengar, apalagi jika aktivitas kita yang bersentuhan secara langsung dengan proses litigasi maupun non litigasi.

Tulisan ini berdasarkan analisis yang mendalam terkait beberapa kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum kita, baik itu mewakili sebagai pelapor maupun terlapor. Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang seharusnya menjadi pusat proses (tata cara) pencari keadilan seringkali ditemukan penyimpangan yang jika dibiarkan terus menerus akan menjadi “hukum kebiasaan” yang terjadi dilingkungan para penegak hukum di negara ini.

Mengacu pada pengakuan dari salah satu terpidana dugaan salah tangkap kasus pembunuhan vina, bernama Saka Tatal yang baru saja menjalani masa hukumannya selama 8 tahun. Jika memang kasus ini tidak diangkat dilayar lebar maka dipastikan korban dugaan salah tangkap ini tidak akan pernah terungkap. Didalam pengakuannya ketika diwawancarai oleh beberapa stasiun televisi ia menyatakan dengan suara gemetar penuh ketakutan telah mengalami berbagai macam penyiksaan baik fisik maupun psikis, hal ini dikarenakan penyidik kita masih mengejar pengakuan tersangka daripada keterhubungan  antara peristiwa hukum dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Padahal kita tahu bahwa pengakuan tersangka dihadapan penyidik bukanlah salah satu bukti sebagaimana amanat Pasal 184 Ayat (1).

Kita-pun yang tidak merasakan dampaknya secara langsung akan peristiwa tersebut tentunya tidak bisa menutup mata, banyak kejadian-kejadian serupa yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini, bahkan berdasarkan survey Transparency International (TI) https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2022-mengalami-penurunan-terburuk-sepanjang-sejarah-reformasi/. Ini seharusnya menjadi penyemangat pemerintah maupun segenap jajarannya agar dimasa-masa yang akan datang negara ini, agar negara ini tidak mengalami rusaknya stabilitas politik, sosial, dan ekonomi yang pada akhirnya akan mengancam perdamaian, keselamatan, dan keamanan secara luas.

Korupsi juga mampu menciptakan lahan subur bagi, gembong narkoba, mafia pertanahan, mafia peradilan, mafia perizinan, mafia pertambangan, kejahatan terorganisir, terorisme, bahkan perang, karena impunitas terus terjadi melalui keterlibatan pejabat publik dan penegak hukum yang korup.

Hanya bisa membayangkan (dengan mengelus dada), setiap proses yang dijalani seseorang yang salah tangkap dikarenakan sebelum menjalani vonis penjara, seseorang akan mengalami tahapan demi tahapan yang sangat panjang nan melelahkan.

Dari proses penangkapan, penahanan, sampai menjalani sidang di pengadilan. Banyak pihak yang diikut sertakan dari mulai pihak penyidik polri, kejaksaan sampai hakim belum lagi dari pihak keluarga terduga pelaku tindak pidana yang dituduhkan.

Dalam analisa orang normal tentunya korban dugaan salah tangkap bahkan salah penuntutan sampai salah vonis seakan-akan tidak mungkin terjadi, tapi itulah bahayanya mafia peradilan/ mafia hukum jika berjalan dengan sistematis. Siapapun bisa terkena perlakuan sewenang-wenang aparat penegak hukum (arbitrary procces), yang salah bebas berkeliaran yang tidak pernah melakukan pidana malah dihukum, tentunya juga kita tidak menafikan kerja-kerja apparat hukum lainnya yang baik dan sesuai prosedural.

Maka, tulisan ini akan membahasnya bagaimana jika kita/ keluarga kita mengalami hal serupa dimasa –masa yang akan datang.

1. Dijadikan Tersangka padahal kita tidak merasa/ tidak pernah melakukan Tindak Pidana

Selain Saka Tatal juga pernah kejadian salah tangkap yang cukup menggegerkan publik yaitu kasus Rian “Jagal Jombang”. Rian sebelum ditahan, Hambali alias Kemat (26) dan Devid Eko Priyanto (17), warga Desa Kalangsemanding. Keduanya divonis 17 dan 12 tahun penjara.(Sumber: https://news.detik.com/berita/d-995834/ryan-bunuh-asrori-polisi-salah-tangkap).

Namun berdasarkan hasil tes DNA yang dirilis oleh Mabes Polri, bahwa mayat yang ditemukan di kebun tebu itu diidentifikasi sebagai Fauzin Suyanto, warga Jalan MT Haryono 24 Nganjuk, Jawa Timur. Setelah melalui jalan dan perdebatan panjang, akhirnya polisi mengakui telah salah tangkap dalam menangani kasus penemuan mayat di kebun tebu. Pada akhirnya, pada Desember 2008, Hambali alias Kemat dan Devid dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah.(Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/07/150000379/kasus-kemat-dan-devid-korban-salah-tangkap-di-jombang?page=all).

Kejadian-kejadian serupa tentunya sangatlah banyak atau marak terjadi, khususnya dalam perkara tindak pidana penyalahan narkoba, penegak hukum dalam hal ini seringkali menggunakan metode yang seharusnya diharamkan oleh para penegak hukum itu sendiri.

Teknik Penyidikan Pembelian Terselebung dan penyerahan di bawah pengawasan (undercover buy atau controlled delivery), adalah metode yang sangat usang/ kuno, seharusnya tidak boleh dilakukan dengan pengecualian jika metode tersebut digunakan untuk membongkar jaringan narkoba kelas kakap dengan omzet berates-ratus milyard atau pejabat yang korup (OTT KPK).

Bukan dikenakan kepada perkara-perkara narkoba recehan atau kelas ecek-ecek dengan pembelian 1-2 poket sabu-sabu. Jika kita protes kepada penyidik, ia akan berpegangan kepada pasal 75 dan 79 UU Narkotika yaitu penyidik berwenang untuk melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) atas perintah tertulis dari pimpinan.

Jika kita kejar lagi mana perintah dari pimpinan selalu akan menjawab itu bukan kewenangan dari pihak pengacara/ pembela. Padahal jika ia memang selaku penyidik cerdas tentunya akan sangat memahami hak-hak dari calon terduga tersangka maupun pembelanya.

Putusan Hakim  Mahkamah Agung Nomor 10 K/Pid.Sus/2015 dan Nomor 363 K/Pid.Sus/2015, jelas-jelas telah melarang teknik penjebakan yang dilakukan oleh penyidik kecuali jika memang untuk membongkar jaringan narkoba yang mempunyai dampak sangat luas bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan juga Penjebakan (Operasi Tangkap Tangan/ OTT KPK) yang dilakukan kepada pejabat karena dugaan korupsi.

Menggoda atau menjerumuskan seseorang untuk menjerat prilaku kepidanaannya, mempunyai garis yang sangatlah tipis dan perlu pembuktian di pengadilan, apakah memang ia melakukan itu atas dasar kesadarannya atau atas dasar untuk tergoda untuk melakukannya atau bahkan tidak ada pilihan lain selain melakukannya.

Selain putusan Mahkamah Agung juga bisa kita pelajari perkara yang menimpa atas nama Andika Tri Oktaviani melalui Putusan Nomor 454 K/Pid.Sus/2011 di mana ia dijebak atas kepemilikan 1 paket sabu-sabu. Andika pun dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Pada 2014, Hakim di Pengadilan Negeri Muaro juga memutus bebas seorang terdakwa yang dianggap dijebak oleh aparat penegak hukum.

Belajar dari kasus Andika Tri Oktaviani, penyidik juga bisa dilaporkan balik dengan dugaan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 318 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain sehingga menimbulkan suatu perbuatan pidana, diancam hukuman 4 tahun.

Dengan catatan korbannya berani melaporkan (baca: delik aduan – kebanyakan tentunya mengalami trauma yang mendalam). Selain itu terdapat pula Pasal 421 dan 422 KUHP terkait pejabat (dalam hal ini penyidik kepolisian) terindikasi melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan paksaan untuk memperoleh keterangan secara melawan hukum.

2. Perintah Tertulis Untuk Penahanan dan Penangkapan

Mungkin pembaca seringkali mendengar atau bahkan mengalami, surat penahanan maupun penangkapan dikirimkan melalui pos/ kurir setelah lewat masa 1 x 24 jam (atau bahkan dalam perkara narkotika pernah dialami oleh penulis ketika melakukan pembelaan, keluarga baru menerima pemberitahuan jika salah satu keluarganya telah ditahan dari 5 hari yang lalu). Bisa dibayangkan bagaimana bingungnya keluarganya mencari selama berhari-hari hanya dikarenakan disfungsi adab hukum yang dilakukan oleh segelintir penegak hukum kita.

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Sedangkan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 angka 20 dan 21 KUHAP

Adanya frasa “menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” itu juga dapat diartikan bukan menurut subyektifitas para penyidik, haruslah mengacu kepada KUHAP jika memang menurut keyakinan penyidik harus dilakukan upaya paksa tersebut sekali lagi agar tidak sesat logika. Pernah pula Penulis mengalami di salah satu Mapolres di Jawa Timur, keluarga tidak boleh menemui sampai 10 hari setelah ditahan dengan alasan masih pengembangan penyidikan, setelah berdebat cukup panjang akhirnya diizinkan untuk menemui, karena didampingi pengacara.

Perintah Penahanan itu wajib dilakukan atas dasar Perintah Tertulis, bukan asal-asalan atas dasar subyektifitas penyidik apalagi sering kita ketahui penahanan tidak dilakukan di Mapolres maupun Mapolda, namun dilakukan di rumah-rumah yang sengaja dipersiapkan untuk itu, bahkan ada juga yang diinapkan di penginapan-penginapan.

Jika mengacu kepada Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 33 Ayat (2), meyatakan:

Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik.

Pasal 45 ayat (1)

Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.

 Tentunya hal ini dikecualikan jika tertangkap tangan yaitu menurut Pasal 1 Angka 19 KUHAP menyatakan, “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.

Kasus judi sabung ayam, yang marak didesa-desa yang bahkan di sebagian wilayah Indonesia merupakan tradisi (adat), yang seringkali dibumbui dengan taruhan untuk menambah semangat para pemainnya. Seharusnya dalam pengungkapannya juga sangat memperhatikan niat (means rea) seseorang tersebut tidak bisa pula dipersamakan semua, bahkan ada beberapa kasus ia hanyalah seorang penonton tidak ikutan berjudi tapi dengan mudahnya dilakukan penangkapan, penahanan bahkan sampai berkas lengkap (P21) diajukan ke pengadilan. Jika tujuan pidana untuk penghukuman, maka akan membuat jera para pelakunya. Namun seperti kita ketahui bersama lembaga pemasyarakatan di Indonesia, dari tahun ke tahun penghuni terus bertambah (overload), bagaimana nasib hukum pemidanaan Indonesia kedepan.

 

3. Sebagai Pencari Keadilan yang Merasa Terdzolimi

Tidaklah banyak masyarakat yang berani untuk melaporkan kejadian yang menimpanya dikarenakan sesat logika seperti diatas, diantaranya adalah ketakutan, ketidak tahuan, traumatik, pasrah dan mendapatkan tekanan. Namun jauh lebih dari itu jika memang menimpa kita atau keluarga kita, apa yang seharusnya kita lakukan untuk menghadapinya?

A. Jika proses ditingkatan penyidik polri

Upaya yang bisa dilakukan yaitu pelaporan/ pengaduan kepada Pelayanan Pengaduan yang ada di Polsek, Polres, Polda bahkan Mabes Polri, setelah itu akan dilakukan pemeriksaan oleh divisi provos (propam) sesuai dengan Perkapolri No 2 Tahun 2016. Secara umum bertugas Pengamanan di lingkungan internal organisasi Polri, pertanggungjawaban profesi, dan Provos dalam penegakan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri.

Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diuraikan bahwa:

Setiap Anggota Polri dilarang:

  1. melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi;
  2. mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesama anggota Polri, atau pihak ketiga;
  3. menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang tidak dapat dipertangungjawabkan kebenarannya tentang institusi Polri dan/atau pribadi Anggota Polri kepada pihak lain;
  4. menghindar dan/atau menolak perintah kedinasan dalam rangka pemeriksaan internal yang dilakukan oleh fungsi pengawasan terkait dengan laporan/pengaduan masyarakat;
  5. menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan;
  6. mengeluarkan tahanan tanpa perintah tertulis dari penyidik, atasan penyidik atau penuntut umum, atau hakim yang berwenang; dan
  7. melaksanakan tugas tanpa perintah kedinasan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, dalam Pasal 14, diuraikan bahwa:

Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:

  1. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
  3. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
  4. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
  5. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan;
  6. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
  7. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
  8. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan;
  9. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya penyidikan tindak pidana;
  10. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  11. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani;
  12. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  13. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Selain itu saluran pengaduan yang bisa dilakukan melalui Komisi Kepolisian (Kompolnas) atau biasanya juga ada upaya lainnya adalah melakukan permohonan pra peradilan ke pengadilan negeri setempat. Untuk menguji penahanan, penangkapan, penetepan tersangka, penyitaan, penggeladahan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian serta rehabilitasi (Pasal 77 KUHAP jo Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014), bahkan dalam putusan Nomor 130/PUU/XIII/2015, tersangka dapat melakukan praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu.

B. Jika dalam tahapan Penyidik Kejaksaan

Bagaimana jika kita, menemukan kejanggalan dalam menghadapi perkara pidana (sudah ditingkatkan di kejaksaan negeri). Upaya hukum non litigasi yang bisa kita gunakan bisa melaporkan kejanggalan tersebut kepada Jaksa Agung ke nomor hotline 0813-8963-0001, melaporkan melalui aplikasi e-prowas atau bisa juga melalui aplikasi simple-mas milik Komisi Kejaksaan RI. Siapkan data diri, laporan berbentuk pdf, sertakan bukti-bukti pendukung, diterima/ tidak diterima pasti akan ada jawaban melalui email. Kalau tidak diterima akan mendapat jawaban “lengkapi persyaratan/ dokumen pendukung”.

Melakukan upaya litigasi dengan mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan negeri setempat, hal ini lumrah terjadi jika masyarakat melalui pengacaranya melakukan batu uji daripada apa yang dianggap tidak sesuai dengan KUHAP.

Terhadap profesi jaksa diatur secara khusus dalam Undang-Undang No 14/ 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 11/2021, Dalam menjalankan kewenangannya, Jaksa memerlukan suatu tata laku, tata pikir, dan tata kerja yang memuat mengenai nilai dan norma sosial lainnya, selain norma hukum. Pembakuan terhadap nilai ini dilakukan dengan penerapan kode etik Jaksa. Maka untuk menghindarkan prilaku jaksa yang menyimpang di keluarkan Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Etik Jaksa.

Di dalam peraturan kode etik tersebut, larangan yang diberikan kepada Jaksa agar tidak keluar dari hakikat etika perilaku Jaksa, di antaranya:

  1. Memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan keuntungan pribadi secara langsung atau tidak langsung, bagi diri sendiri atau orang lain dengan menggunakan nama atau cara apapun.
  2. Meminta dan/atau menerima hadian dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapa pun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung.
  3. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung.
  4. Melakukan pemufakatan secara melawan hukum dengan para pihak dalam yang terkait dalam penanganan perkara.
  5. Memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
  6. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara.
  7. Menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis.
  8. Menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga telah direkayasa atau dipercaya telah didapatkan melalui cara yang melanggar hukum.                                                          C. Dalam tahapan Peradilan

Banyak cara jika kita selaku pencari keadilan menemukan kejanggalan-kejanggalan proses didalam proses peradilan. Jika dalam tahapan persidangan (sebelum vonis, dalam perkara pidana maupun sebelum putusan dalam perkara perdata), kita mengetahui pelanggaran terjadi maka bisa diajukan nota keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri tersebut untuk mengganti Ketua beserta Anggota Majelis Hakim dengan syarat-syarat yang dapat diterima oleh hukum.

Jika tidak ditanggapi dengan baik bisa mengajukannya kepada Komisi Yudisial dengan tembusan Ketua Mahkamah Agung.

Jika sudah vonis/ diputus dan ternyata kita belum puas, upaya yang bisa dilakukan adalah mengajukan banding sampai kasasi dan apabila ditemukan alat bukti baru bisa dilakukan peninjauan kembali.

Secara khusus profesi hakim di berikan kewenangan maupun juga batasan-batasannya, yaitu dalam peraturan terbaru di Undang-Undang No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman beserta Kode Etik Profesi Hakim.

Pasal 5 UU No 48/2009 Ayat (1) “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu terdapat pula Pasal 6 Ayat (2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang – undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Lebih lanjut pasal 40 UU No 48/2009 Ayat (1) “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial”. Ayat (2) “Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”.

Tata cara pelaporan prilaku hakim (selain ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung), juga diajukan kepada Ketua Komisi Yudisial, yaitu bisa berkirim surat seperti biasa atau bisa dilakukan melalui aplikasi yang sudah disediakan oleh Mahkamah Agung melalui https://siwas.mahkamahagung.go.id/ maupun Komisi Yudisial dengan membuka https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/behavioural_surveillance_judge

 

4. (Tidak merasa sudah menjadi) Mafia Hukum

Menjadi mafia hukum, tidaklah harus mempunyai kedudukan tinggi di negeri ini, orang biasa-pun banyak yang melakukan praktik kolusi hukum, pengacara hitam, oknum polisi, oknum jaksa, oknum hakim, oknum petugas pajak, oknum ASN dll.

Kadang kita sendiri secara tidak sadar ikut serta menjadi bagian dari rusaknya negara ini, dengan menghalalkan segala cara agar setiap urusan kita dimenangkan atau hanya ingin didahulukan dari orang lain, kita sampai rela menyuap. Dalam perkara “hanya” ingin memasukan anak ke sekolahan (negeri) favorit rela lobi-lobi sana sini dengan embel-embel uang terima kasih. Belum lagi nanti jika sudah masa bekerja orang tua rela jual sawah “hanya” demi bisa mendapatkan posisi jabatan tertentu.

Yang tidak kalah mengerikan juga mafia tanah (property), yang melibatkan peranan para pejabat dari tingkat daerah, peranan pengusaha property hitam, oknum notaris/ ppat. Jika kita jujur dan lurus dalam menjalankan amanah setiap peraturan tentang Perumahan dan Permukiman (UU No 1/2011), Undang-Undang tentang Jabatan Notaris yang seharusnya Ikatan Jual Beli (PPJB) hanyalah diperuntukan untuk pembelian perumahan baik itu di perorangan maupun ke pengusaha property dengan tujuan untuk mengikat harga maupun spesifikasi yang akan dibangun, itupun dengan catatan status tanahnya sudah ada peralihan.

Notaris tidak mempunyai kewenangan untuk membuatkan IJB/ PPJB dalam penjualan tanah kavling apalagi yang peralihan tanahnya belum beralih kepada perusahaan tersebut (masih atas nama pemilik asal). Akibatnya banyak masyarakat yang menjadi korban penipuan dan penggelapan pembelian tanah kavling yang dilakukan oleh pihak perusahaan property dengan dasar hanya IJB/ PPJB Notaris.

 

*Penulis berprofesi Advokat sekaligus Pendiri Firma Hukum H. Rif’an Hanum & Nawacita, saat ini sedang menyelesaikan Pendidikan Doktoral Ilmu Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Rif'an Hanum

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terkait

Kami di Kantor Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita percaya bahwa kepercayaan klien adalah yang utama, dan kami selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik di setiap langkah hukum yang kami tempuh bersama klien kami.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

Important Links

Customer Spotlight

Customer Service

Marketing

FAQ

Company

About Us

Projects

Team Members

Services

Kontak Kami

rifanhanum@gmail.com

+62 816-533-510
+62 811-3422-86

Jl. Raya Sidoharjo No.07, Simpang, Sidoharjo, Kec. Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur 61351

© 2024 Created

Scroll to Top