Dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Norma Agama, perceraian dianggap sebagai sebuah Solusi terakhir untuk menyelesaikan konflik berumah tangga diantara pasangan Suami dan Istri. Hal ini dikarenakan konflik dalam perkawinan yang berujung perceraian, dianggap banyak menimbulkan mudhorot dan perubahan signifikan terkhusus pada pasangan yang sudah dikaruniai seorang Anak baik secara psikis, mental, finansial dan hubungan sosial dimasyarakat. Berikut terdapat 7 alasan yang dapat dipertimbangkan oleh Keluarga agar terjaga tetap utuh dan terhindar dari perceraian didasarkan pada Hukum dan Yurisprudensi:
- Perkawinan merupakan Ikatan Lahir Batin antara Suami dan Istri yang bersifat Kekal, Abadi dan Sakral
Ikatan Perkawinan diatur melalui Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Dalam hal ini sebelum seorang perempuan dan laki-laki memutuskan untuk melaksanakan perkawinan, penting untuk menyadari bahwa Perkawinan adalah hubungan yang terjalin dalam kurun waktu seumur hidup dan menyatukan dua keluarga (Suami dan Istri) yang sebelumnya tidak terikat apapun. Sehingga penting untuk disadari bahwa perkawinan banyak melibatkan aspek penting yang diantaranya agama, sosial, keutuhan keluarga bersama, masa depan hubungan perkawinan, ekonomi, Psikis, mental, serta kepentingan Anak yang dihasilkan dalam hubungan perkawinan.
Lebih lanjut, tujuan perkawinan dalam QS. Ar-Ruum: 21 diantaranya sebagai berikut:
- Jodoh adalah sebuah pertanda adanya kekuasaan Allah,
- Perkawinan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah,
- Perkawinan melatih seseorang untuk berfikir terkait sebab halal dan haramnya seorang manusia menjalin hubungan diantara laki-laki dan perempuan agar dalam hal ini manusia dapat berfikir terkait aturan yang benar, kejelasan keturuanan mereka, kemuliaan, penghormatan, dan kepentingan anak.
Pada Ayat tersebut memberikan kesadaran bagi setiap manusia terkhusus kaum Muslim dan Muslimah agar mendasari ikatan perkawinan dengan niat tujuan yang halal, Iman, Taqwa serta mempertimbangkan hal-hal yang harus dipersiapkan sebelum berumah tangga dan menjalin Ibadah Perkawinan seumur hidupnya agar perceraian dengan segala bentuk mudhorotnya dapat dicegah dikemudian hari.
- Mediasi sebagai sebuah langkah untuk Mempertahankan Perkawinan
Proses atau Prosedur Mediasi diatur melalui Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi dapat dikatakan sebagai salah satu yang wajib untuk dilakukan oleh Suami dan Istri yang berkeinginan mengajukan perceraian sebelum memasuki tahapan sidang di Pengadilan Agama. Namun, yang penting untuk difahami adalah upaya hukum mediasi dalam perkara perceraian ada dan dipergunakan untuk kembali mempertahankan keutuhan rumah tangga, mencegah mudhorot adanya perceraian, memberikan pendapat atau solusi terbaik antara suami dan istri dengan dibantu oleh seorang Mediator. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al Hujarat ayat 9 dan 10, sehubungan dengan korelasinya dengan mediasi, pada ayat tersebut, menerangkan bahwasannya bilamana terdapat 2 (dua) golongan yang sedang bertikai atau bersengketa, maka dalam hal ini tugas seorang Muslim adalah mendamaikan keduanya, karna Islam mengajarkan kedamaian, persatuan, keutuhan dan kesatuan termasuk dalam kehidupan berumah tangga di antara Suami dan Istri.
- Perceraian hanya dapat dilakukan di Pengadilan dengan pemenuhan syarat tertentu
Disebutkan pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, sehingga upaya perceraian hanya dapat dilakukan dengan cara menempuh jalur Pengadilan dengan serangkaian syarat tertentu bukan secara sembarangan. Hal ini bertujuan agar sebagai pasangan Suami dan Istri dapat saling intropeksi dan menyelesaikan terlebih dahulu perkara rumah tangga secara kekeluargaan agar keduanya rukun kembali. Sebagaimana dalam Putusan MARI Nomor 237 K/AG/1998 menyatakan “Perceraian dapat dikabulkan apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 19f Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”.
Pasal 19f Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Untuk itu, sebagai pasangan Suami Istri sudah sepantasnya menyadari bahwa setiap pasangan memiliki segala bentuk kekurangan dan kesalahan diantara keduanya, namun perlu dipahami bahwa Suami Istri adalah pelengkap kekurangan, pembawa ketentraman dan tempat mencurahkan kasih sayang satu sama lain.
- Adanya Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab diantara Suami dan Istri
Hak dan Kewajiban Suami Istri diatur melalui Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 33 berbunyi “Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Penting dipahami tugas Suami Istri dalam kehidupan berumah tangga seumur hidupnya adalah saling memahami, menyayangi, menghormati, mengasihi, berkomunikasi, memaklumi, setia, memberikan hak maupun kewajibannya lahir dan batin dengan tujuan agar tercipta keluarga yang utuh, rukun, aman dan tentram.
- Adanya Perlindungan terhadap Kepentingan Anak yang menjadi Fokus Utama
Pemeliharaan terhadap kepentingan Anak menjadi prioritas utama baik bagi Suami maupun Istri sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bagi Pasangan Suami Istri pahami bahwa perceraian tidak hanya menimbulkan akibat untuk satu sama lain, namun besar kemungkinan Anak juga berpotensi menjadi korban akibat perceraian kedua orang tuanya baik secara fisik, psikis, lingkungan sosial, masa depan, dan pola pikir kedepannya.
- Keterlibatan Keluarga, Lembaga Adat dan Agama
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dapat diartikan bahwa Agama, Hukum dan Adat mengakui bahwa perkawinan adalah sebuah ikatan yang terjalin diantara Suami Istri yang akan dianggap Sah apabila sesuai dengan hukum, agama dan kepercayaan satu sama lainnya.
Bahkan hingga tahapan persidangan tepatnya pada pembuktian saksi perkara perceraian, peran tokoh agama, adat dan masyarakat tetap dibutuhkan untuk membantu memastikan apakah di Lingkungan Sosial nantinya Suami Istri tetap dapat dipastikan untuk rujuk kembali dan hidup rukun selayaknya awal perkawinan.
- Dalam Agama Islam, dikenal sebuah Asas Pemeliharaan dan Keadilan
Pengaturan Asas Pemeliharaan dan Keadilan terwujud dalam hak dan kewajiban antara Suami maupun Istri sebagaimana diatur dalam Pasal 80-84 Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini, terdapat Majelis hakim mempertimbangkan perkara peceraian di tolak dibeberapa putusan, dikarenakan Majelis Hakim menilai berdasarkan fakta persidangan bahwasannya masih ada harapan diantara Suami dan Istri untuk tetap menjalin rumah tangga seperti semula.
Kesimpulan
Melalui Ketentuan Hukum, Norma dan Agama sekalipun melarang adanya sebuah perceraian diantara Suami Istri. Hal ini dikarenakan sebuah perkawinan dianggap sebagai ikatan yang sakral, kekal dan abadi untuk Pasangan Suami Istri. Hukum, Yurisprudensi, Peran Agama & Adat, Mediasi dan seterusnya mendasari dan mendorong untuk setiap keluarga yang berkonflik agar tetap utuh dengan beberapa cara sebagaimana tersebut diatas kecuali dengan beberapa syarat dan alasan tertentu seperti KDRT, Perselingkuhan dan Penelantaran Anak.