Hari: 2 Juni 2025

  • TUDUHAN MEMPERJUALBELIKAN MANUSIA Oleh : Nadhirotul Munawaroh., S.H.*

    TUDUHAN MEMPERJUALBELIKAN MANUSIA Oleh : Nadhirotul Munawaroh., S.H.*

    Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini. Yang dimaksud dalam hal ini berkaitan dengan kasus perdagangan orang.

    Dalam UU tersebut dijelaskan, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

    Berdasarkan Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2007 subjek TPPO meliputi:

    1. Korban, adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
    2. Setiap Orang, adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

    Maka berdasarkan subjek yang dijelaskan dalam UU tersebut, perlu dianalisa ‘apakah agen jasa pengirim tenaga kerja ke luar negara Republik Indonesia untuk dieksploitasi dapat dijerat menggunakan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 atau tidak, untuk itu perlu diuraikan unsur-unsurnya sebagai berikut:

    1. setiap orang;
    2. membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia;
    3. dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

    Agar dapat dipidana atas dasar tindak pidana perdagangan orang, maka kesemua unsur di atas harus terpenuhi secara kumulatif bukan alternatif sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor  21 Tahun 2007. Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, maka tidak dapat dipidana.

    Apabila ditarik pada prosedur perkara saat masih di meja pelaporan, maka pihak kepolisian yang berwenang memeriksa harus benar-benar memastikan kesemua unsur dalam Pasal 1 UU 21/2007 terpenuhi sebelum perkara dinyatakan berganti status menjadi penyidikan. Pada proses penyelidikan perkara, pihak kepolisian mengumpulkan bukti-bukti untuk menentukan adanya dugaan TPPO. Selama penyelidikan, kepolisian harus memeriksa TKP, mengumpulkan keterangan saksi, dan mengumpulkan barang bukti. Bilamana telah dinyatakan cukup bukti sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP, maka perkara dapat ditingkatnya menjadi penyidikan.

    Dalam perkara delik TPPO di tingkat penyelidikan, bukti-bukti yang relevan dan harus dipenuhi oleh kepolisian kepada pelapor (saksi) adalah:

    1. Adanya bukti pihak agen pengiriman tenaga kerja ke Luar Negeri bersama-sama melakukan permufakatan jahat melakukan perdagangan orang untuk dieksploitasi di luar Indonesia;
    2. Adanya bukti pihak agen pengiriman tenaga kerja ke Luar Negeri membantu mengurus medical check up, membuatkan passport dan mengurus keberangkatan para saksi ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

    Selain itu, pihak kepolisian juga harus melengkapi bukti-bukti penyelidikan dari pihak terlapor (saksi) sebagai berikut:

    1. Surat Ijin Usaha Penempatan Perusahaan Jasa TKI (SIUP-PJTKI)

    Dokumen tersebut adalah izin wajib bagi PJTKI untuk menjalankan kegiatan penempatan TKI ke luar negeri.

    1. Sertifikat Pelatihan;

    PJTKI harus memiliki sertifikat pelatihan khusus terkait penempatan TKI, seperti sertifikat pelatihan penempatan TKI.

    1. Perjanjian Penempatan;

    Dokumen perjanjian yang berisi kesepakatan antara PJTKI dan calon TKI mengenai syarat penempatan, hak, dan kewajiban masing-masing.

    1. Perjanjian Kerja;

    Dokumen perjanjian kerja dengan pengguna jasa di negara tujuan yang ditandatangai oleh calon TKI, yang diurus oleh agensi melalui sistem endorsement KDEI.

    Pada proses penyidikan, pihak kepolisian dapat mengumpulkan bukti dan melakukan tindakan seperti penangkapan, penggeledahan, dan penahanan. Tujuan penyidikan adalah untuk membangun kasus yang solid dan memastikan bahwa ada cukup bukti untuk menuntut tersangka. Jika tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik maka hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum. Tahap penyidikan dianggap selesai jika berkas perkara yang diserahkan tersebut diterima dan dinyatakan lengkap (P21) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP.

    Kemudian berkas dilimpahkan oleh kepolisian kepada Jaksa Penutut Umum (JPU) untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.

    Bilamana dalam serangkaian prosedur tersebut tidak ditemukan bukti yang cukup atas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) maka seharusnya penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa seorang tersangka telah melakukan tindak pidana .

     

    Referensi:

    [1] Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

    [2] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    [3] Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

     

    *Staff Legal Kantor Firma Hukum H. Rif’an Hanum & Nawacita

     

  • PERANAN PA, KPA, PPK & POKJA TERHADAP SEJUMLAH PROYEK TA 2022–2024 BERMASALAH DI KOTA MOJOKERTO (Studi Kasus Yuridis Normatif atas Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik) Oleh: Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S.H.

    PERANAN PA, KPA, PPK & POKJA TERHADAP SEJUMLAH PROYEK TA 2022–2024 BERMASALAH DI KOTA MOJOKERTO (Studi Kasus Yuridis Normatif atas Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik) Oleh: Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S.H.

    Beberapa tahun terakhir, masyarakat Kota Mojokerto dikejutkan oleh kenyataan pahit sejumlah proyek infrastruktur yang dilaksanakan antara Tahun Anggaran (TA) 2022 hingga 2024 ternyata tidak membawa manfaat, bahkan cenderung menjadi beban anggaran. Mulai dari proyek jalan lingkungan, revitalisasi fasilitas publik, hingga pembangunan prasarana yang mangkrak, semuanya menyisakan pertanyaan besar siapa yang bertanggung jawab?

    Jika ditinjau dari sisi tata kelola proyek pemerintah, ada empat aktor utama yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab, yakni Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kelompok Kerja Pengadaan Barang/Jasa (Pokja). Keempatnya memegang peranan vital dalam setiap tahapan siklus proyek, mulai dari perencanaan hingga serah terima hasil pekerjaan.

    Peran dan Tanggung Jawab Struktural

    Secara yuridis, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa PA dan KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan anggaran belanja negara/daerah. Sedangkan PPK, menurut Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bertugas melaksanakan kontrak dan memastikan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis. Pokja, di sisi lain, adalah aktor kunci dalam proses lelang, yang menentukan siapa pemenang pengadaan.

    Namun dalam sejumlah proyek di Kota Mojokerto, peran ini justru menjadi sumber permasalahan. Diduga kuat terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan, mulai dari penyusunan dokumen lelang yang tidak transparan, penunjukan pemenang yang sarat intervensi, hingga pelaksanaan proyek yang tidak memenuhi standar teknis.

    Studi Kasus Proyek Tidak Bermanfaat TA 2022–2024

    Dari berbagai informasi yang beredar, ada indikasi kuat bahwa beberapa proyek pada TA 2022–2024 gagal memberi manfaat karena:

    Tidak dilakukan uji kelayakan menyeluruh Proyek jalan lingkungan dan pembangunan area publik dilakukan tanpa studi teknis dan sosial yang memadai. Hal ini melanggar prinsip efisiensi dan efektivitas belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    Pemenang lelang tidak kompeten

    Sejumlah media lokal mengungkap adanya “upeti” dalam proses lelang yang diberikan oleh kontraktor kepada pejabat. Jika benar, ini menunjukkan bahwa Pokja tidak menjalankan tugas secara objektif dan profesional, melainkan berdasarkan pesanan oknum.

    Kegagalan pengawasan oleh PPK

    Dalam banyak kasus, proyek tetap dibayar meskipun progres fisik tidak sesuai, atau pekerjaan tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan PPK tidak menjalankan fungsi kontrol dan monitoring yang seharusnya menjadi bagian dari kontrak.

    Tidak adanya pertanggungjawaban moral dan administratif

    Hingga kini, belum ada satu pun pejabat yang menyatakan bertanggung jawab atas kerugian proyek tersebut. Tidak ada pengakuan kesalahan, bahkan kesan yang muncul adalah pembiaran sistemik.

    Tinjauan Hukum dan Moralitas

    Dari sudut pandang yuridis normatif, peran PA, KPA, PPK dan Pokja bukan hanya administratif, tapi juga memiliki implikasi hukum pidana dan perdata apabila terjadi kerugian negara. Dalam hal ini, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dapat dihukum pidana. Secara moral, jabatan publik adalah amanah. Ketika proyek yang didanai dari pajak rakyat disalahgunakan, maka pengkhianatan terhadap kepercayaan publik telah terjadi. Jika benar ada pejabat yang menerima “upeti” dalam proses lelang, maka hal tersebut bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga kejahatan moral yang mencoreng institusi pemerintahan.

    Kesimpulan dan Harapan Masyarakat

    Uji kelayakan seharusnya menjadi syarat mutlak dalam setiap proyek yang menggunakan dana publik. Tanpa itu, proyek hanya menjadi alat formalitas untuk menghabiskan anggaran. Kota Mojokerto membutuhkan reformasi serius dalam proses penganggaran dan pengadaan, agar ke depan tidak terjadi lagi proyek gagal manfaat. Masyarakat kini berharap pada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan ini. Peran Kejaksaan, Kepolisian dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat dibutuhkan untuk membongkar praktik curang dalam proyek-proyek tersebut. Jangan sampai kasus ini berlalu begitu saja, lalu menjadi preseden buruk yang terus berulang.

    Negara wajib hadir membela kepentingan rakyat, bukan melindungi para pemburu rente. PA, KPA, PPK dan Pokja harus berani bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil. Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus menurun, dan proyek-proyek pembangunan hanya akan menjadi simbol kegagalan tata kelola.

    *Staf Legal Kantor Firma Hukum H.RIF’AN HANUM & NAWACITA