Hari: 22 Mei 2025
-
PERAN PENEGAK HUKUM DALAM MEMBEDAKAN PENGGUNA DAN PENGEDAR DALAM KASUS DENGAN JUMLAH KECIL
Maraknya kasus narkotika di Indonesia tidak hanya menimbulkan keprihatinan moral, tetapi juga menyisakan problematika hukum. Salah satu persoalan mendasar adalah kesulitan dalam membedakan antara pengguna dan pengedar narkoba, terutama dalam kasus dengan jumlah kepemilikan kecil, seperti 0,9 gram sabu. Artikel ini menganalisis problem tersebut dari sudut pandang hukum pidana, HAM, dan keadilan restoratif. Tulisan ini juga mengevaluasi peran polisi, jaksa, dan hakim dalam menerapkan asas keadilan substantif, bukan semata-mata kepastian hukum formalistik yang kaku.
Realita Hukum Antara Penegakan dan Kriminalisasi Berlebihan
Dalam berbagai kasus narkotika, tidak sedikit masyarakat kecil yang terjebak dalam jerat pidana berat meskipun hanya terbukti memiliki narkoba dalam jumlah sangat kecil. Contoh paling mencolok adalah ketika seseorang dengan kepemilikan sabu 0,9 gram langsung dituntut sebagai pengedar atau bahkan bandar berdasarkan Pasal 114 UU Narkotika. Pertanyaannya: apakah ini cerminan ketegasan hukum, atau justru bentuk kriminalisasi berlebihan?
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang memberi ruang multitafsir, khususnya terkait batasan antara “pengguna” dan “pengedar.” Akibatnya, aparat penegak hukum sering kali menggunakan pendekatan kuantitas semata tanpa menilai konteks sosial dan psikologis pelaku.
Pasal-Pasal Karet dan Potensi Pelanggaran HAM
Pasal 111 hingga 114 UU Narkotika kerap digunakan secara mekanistik, di mana berat barang bukti menjadi penentu tunggal status hukum pelaku. Padahal, dalam praktiknya:
- Tidak ada batas berat yang secara eksplisit membedakan pengguna dari pengedar dalam UU Narkotika.
- Tidak jarang pengguna yang mengalami kecanduan justru diperlakukan seperti penjahat kelas berat.
- Penahanan dan pemidanaan terhadap pecandu ringan berkontribusi terhadap over kapasitas lembaga pemasyarakatan, tanpa menyelesaikan akar persoalan.
Hal ini berpotensi melanggar prinsip non-discrimination dan fair trial sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Peran Penegak Hukum Antara Hukum dan Nurani
Aparat penegak hukum sejatinya memegang peran sentral dalam membedakan mana pengguna yang membutuhkan rehabilitasi dan mana pengedar yang pantas dihukum berat. Dalam hal ini:
- Polisi harus mengedepankan pendekatan investigasi kontekstual: apakah ada alat bukti lain seperti timbangan, plastik klip, rekam jejak transaksi.
- Jaksa harus berani memilah perkara yang layak dilanjutkan ke pengadilan, dan mana yang sebaiknya diarahkan ke rehabilitasi.
- Hakim wajib menilai secara menyeluruh, termasuk latar belakang pelaku, tingkat ketergantungan, dan kondisi sosialnya.
Sayangnya, masih banyak kasus di mana proses hukum lebih mengejar angka “pengungkapan kasus” ketimbang keadilan substantif.
Perspektif Keadilan dan Rehabilitasi
Masyarakat miskin seringkali menjadi korban paling rentan dalam kasus narkotika. Mereka tak punya akses pada bantuan hukum memadai, tak memahami hak-haknya, dan sering tak mampu membela diri ketika dikriminalisasi atas kepemilikan yang bahkan tidak sampai 1 gram.
Keadilan sejati dalam konteks ini mensyaratkan pendekatan berbasis pemulihan, bukan semata penghukuman. Rehabilitasi wajib menjadi pilihan utama bagi pecandu ringan, sesuai amanat Pasal 54 UU Narkotika.
Yurisprudensi dan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa pengadilan telah memberikan putusan progresif dengan membebaskan atau mengarahkan terdakwa ke rehabilitasi meski ditemukan barang bukti dalam jumlah kecil. Namun praktik ini masih belum merata, dan penegakan hukum yang adil masih sangat bergantung pada sensitivitas personal aparat.
Untuk memperbaiki kondisi ini, berikut rekomendasi kebijakan:
- Mahkamah Agung perlu mengeluarkan SEMA yang memberi pedoman kuantitatif dan kualitatif dalam membedakan pengguna dan pengedar.
- BNN dan Polri harus mengedepankan asesmen terpadu (tim terpadu rehabilitasi) sejak awal penyidikan.
- DPR dan Pemerintah perlu merevisi UU Narkotika agar secara tegas membedakan perlakuan terhadap pengguna dan pengedar.
- Penegak hukum harus dilatih secara rutin tentang pendekatan berbasis keadilan restoratif dan kesehatan publik.
Kesimpulan
Ketika seseorang dengan 0,9 gram sabu langsung dilabeli sebagai pengedar atau bandar, maka yang tercabik bukan hanya nalar hukum, tapi juga nurani keadilan. Negara wajib hadir bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga memulihkan dan melindungi rakyatnya dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang. Narkotika adalah masalah serius, tapi pendekatannya tidak boleh hanya mengandalkan hukuman penjara. Keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga soal hati nurani.
*Siti Nisfi Wilujeng Isnaini.,S. H., Pararegal Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita
-
MENYIKAPI BEBERAPA PROYEK TIDAK BERMANFAAT DI KOTA MOJOKERTO (Studi analisis hukum dan dampak bagi para pembuat kebijakan) Oleh: H. Rifan Hanum., S.H., M.H*.
Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh mangkraknya proyek strategis Kota Mojokerto dengan menggunakan dana rakyat. Hal ini tentunya tidak boleh dilakukan secara serampangan, gegabah dan terkesan coba-coba.
Proyek senilai milyaran rupiah yang bertujuan untuk kemanfaatan bagi masyarakat khususnya Kota Mojokerto ternodai dengan ketidak hati-hatian para pembuat kebijakannya. Selain itu tidak adanya rasa malu maupun rasa empati melihat proyek yang tidak ada manfaatnya.
Seharusnya jika mempunyai jiwa-jiwa ksatria, dari mulai Konsultan Perencanaan, Konsultan Pengawas sampai Konsultan Pelaksana berani mengakui jika ia gagal menjalankan suatu tugas yang diminta untuk dikerjakan kepadanya.
Selain itupula menumbuhkan rasa malu, rasa bersalah kepada para pejabat dari mulai tingkatan Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, PPK sampai Pokja Pengadaan Barang dan Jasa tersebut haruslah dimintai pertanggung jawaban, apalagi ada informasi jika Pemenang Lelang Pengadaan Barang & Jasa tersebut sudah mengakui di Media Massa jika ia memang dikenakan “upeti” oleh Pejabat Lingkungan Dalam Pemkot Mojokerto.
Begitu hinanya para pejabat kita, yang dibayar gajinya, diberikan berbagai macam fasilitas oleh negara namun masih menjadi tukang palak para kontraktor, hal ini tentunya sangatlah menjijikan namun menjadi kebiasaan yang seakan-akan dibenarkan oleh sebagian pejabat korup kita.
Uji kelayakan (feasibility study) sangat penting dilakukan sebelum membangun suatu proyek dengan dana negara karena proyek-proyek tersebut menggunakan uang publik yang bersumber dari pajak rakyat. Tujuan utama uji kelayakan adalah untuk memastikan bahwa proyek tersebut layak secara ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, dan hukum, serta dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan risiko yang minimal.
Alasan Mengapa Uji Kelayakan Diperlukan
- Mencegah pemborosan anggaran negara
- Menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan dana
- Menilai dampak sosial dan lingkungan secara menyeluruh
- Mengidentifikasi dan mengurangi risiko kegagalan proyek
- Menjadi dasar dalam proses pengambilan keputusan dan persetujuan anggaran
- Memastikan kesesuaian dengan rencana pembangunan nasional/daerah
Dasar Hukum Uji Kelayakan Proyek Negara
Beberapa regulasi yang menjadi dasar hukum perlunya uji kelayakan proyek pemerintah, antara lain:
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
→ Pasal 3: Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab. - Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
→ Pasal 19: Belanja negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas serta diarahkan untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. - Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
→ Uji kelayakan termasuk dalam tahapan perencanaan pengadaan dan studi awal proyek. - Permen PPN/Bappenas No. 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, dan Penilaian Proyek Prioritas Nasional
→ Menekankan kewajiban melakukan studi kelayakan sebagai syarat untuk pengusulan proyek strategis nasional (PSN).
Contoh Proyek Tanpa Uji Kelayakan yang Mengakibatkan Kerugian Negara
Proyek Masalah Estimasi Kerugian Hambalang (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga Nasional) Proyek mangkrak karena masalah geoteknik dan hukum, tidak ada studi kelayakan menyeluruh ± Rp 706 miliar (data BPK) Bandara Internasional Kertajati (Jawa Barat) Lokasi jauh dari pusat keramaian, kurang analisis pasar dan aksesibilitas Potensi kerugian miliaran karena minim penumpang Monorel Jakarta Tidak ada feasibility study yang tuntas, tumpang tindih regulasi, akhirnya dihentikan Dana terbuang untuk perencanaan dan tiang beton terbengkalai Pasar Johar Semarang (Revitalisasi 2009-2012) Tidak sesuai kebutuhan pedagang, mangkrak sebelum direvitalisasi ulang Dana APBD/APBN terbuang hingga ratusan juta rupiah Kesimpulan
Uji kelayakan bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan langkah strategis untuk menjamin proyek publik berjalan dengan akuntabel, efisien, dan memberi manfaat nyata. Tanpa uji kelayakan, risiko kerugian negara sangat besar, baik dari segi finansial maupun social. Akhirnya Peran Penegak Hukumlah yang sangat dinantikan oleh Masyarakat, agar permasalahan ini tidak menjadi contoh buruk dimasa yang akan dating.
*Pendiri Firma Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita
-
Pencabutan Gugatan Cerai
Pencabutan gugatan merupakan hak dari Pihak Penggugat hal tersebut boleh dilakukan sebelum hakim menjatuhkan putusan, jika Tergugat belum memberikan jawaban maka pencabutan Gugatan tidak perlu persetujuan tergugat, namun jika Tergugat sudah memberikan jawaban dari gugatan maka pencabutan gugatan harus ada izin dari Tergugat hal tersebut tercantum pada Pasal 142 HIR / 154 Rbg yang menyebutkan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan hak pihak lain dan harus disetujui oleh pihak yang terkena dampak, dalam hal ini yatu pihak Tergugat. Persetujuan Tergugat sangat diperlukan karena jika tergugat sudah memberikan jawaban, maka ia sudah menanggapi gugatan tersebut dan memiliki hak untuk memutuskan apakah ia bersedia menerima pencabutan atau tidak. Hal termasuk Prinsip itikad baik (bona fide) hukum perdata Indonesia juga mendasari bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak penggugat maupun tergugat harus mengutamakan keadilan dan kepentingan kedua belah pihak. Oleh karena itu, meskipun penggugat memiliki hak untuk mencabut gugatannya, hak tersebut tidak dapat dipergunakan secara sepihak jika sudah ada jawaban dari tergugat. Prinsip ini mengarah pada perlunya persetujuan bersama agar tidak merugikan hak salah satu pihak.
Prosedur pencabutan gugatan cerai yang sudah dijawab oleh tergugat memang mengharuskan adanya persetujuan dari tergugat. Ini bertujuan untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, terutama ketika gugatan cerai sudah memasuki tahap persidangan. Apabila tidak ada persetujuan dari tergugat, maka pengadilan akan melanjutkan proses persidangan dan memberikan putusan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adapun Langkah – langkah yang dilakukan jika Tergugat sudah memberikan jawaban dari gugatan yang diajukan Penggugat.
- Penyampaian Permohonan Pencabutan Gugatan
Penggugat harus mengajukan permohonan pencabutan gugatan cerai kepada pengadilan tempat perkara tersebut didaftarkan. Permohonan ini dapat disampaikan melalui kuasa hukum atau langsung oleh penggugat. Permohonan ini dapat disampaikan dalam bentuk surat resmi yang menyatakan bahwa penggugat menarik kembali gugatan cerai yang telah diajukan.
- Persetujuan dari Tergugat
Jika tergugat sudah memberikan jawaban terhadap gugatan cerai, pencabutan gugatan cerai memerlukan persetujuan dari tergugat. Artinya, penggugat tidak dapat begitu saja menarik gugatan tanpa adanya kesepakatan dengan tergugat, terutama jika tergugat sudah memberikan jawaban. Persetujuan ini bisa disampaikan secara tertulis atau dalam sidang pengadilan.
- Sidang Pengadilan untuk Menyatakan Pencabutan
Setelah penggugat dan tergugat menyetujui pencabutan gugatan cerai, maka proses pencabutan gugatan akan dilakukan melalui sidang pengadilan. Dalam sidang tersebut, hakim akan memeriksa permohonan pencabutan dan memberikan keputusan yang menyatakan bahwa gugatan cerai tersebut resmi dicabut.
- Putusan Hakim Mengenai Pencabutan
Jika permohonan pencabutan diterima, hakim akan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa gugatan cerai telah dicabut. Putusan ini harus didasarkan pada persetujuan bersama antara penggugat dan tergugat dan memastikan bahwa kedua belah pihak tidak ingin melanjutkan perceraia
Ketentuan Hukum Terkait Pencabutan Gugatan Cerai secara hukum, pencabutan gugatan cerai diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
- Pasal 142 HIR: Dalam hukum acara perdata, penggugat dapat mencabut gugatannya kapan saja, baik sebelum atau setelah tergugat memberikan jawabannya. Pencabutan gugatan ini membutuhkan persetujuan pengadilan jika sudah memasuki tahap tertentu.
- Pasal 120 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974: Pasal ini mengatur mengenai prosedur perceraian yang diatur oleh pengadilan. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan pencabutan gugatan, namun mencabut gugatan cerai dalam tahap tertentu dapat dilakukan sepanjang memenuhi syarat hukum yang berlaku.
- Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2012: Peraturan ini mengatur tata cara perceraian dan berperan penting dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum terkait pencabutan gugatan perceraian, terutama yang sudah memasuki proses persidangan.
Kesimpulan
Pencabutan Gugatan Cerai setelah Tergugat memberikan jawaban memang bisa dilakukan, namun harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Penggugat harus mengajukan permohonan pencabutan yang disertai persetujuan dari tergugat. Jika kedua belah pihak sepakat, pengadilan akan mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa gugatan cerai telah dicabut dan tidak dilanjutkan putusan cerai.
Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diubah Undang-Undang No. 16 Tahun 2019.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2012 tentang Prosedur Perceraian.