KENAPA PROFESI POLISI TERUS MENERUS DISOROT NEGATIF
Menyangsikan kinerja Kepolisian maupun Kejaksaan sehingga menimbulkan banyak prespektif bahkan penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku maupun korban tindak pidana. Kejanggalan sampai bahkan ketidak adilan di muka hukum seringkali kita dengar, apalagi jika aktivitas kita yang bersentuhan secara langsung dengan proses litigasi maupun non litigasi. Tulisan ini berdasarkan analisis yang mendalam terkait beberapa kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum kita, baik itu mewakili sebagai pelapor maupun terlapor. Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang seharusnya menjadi pusat proses (tata cara) pencari keadilan seringkali ditemukan penyimpangan yang jika dibiarkan terus menerus akan menjadi “hukum kebiasaan” yang terjadi dilingkungan para penegak hukum di negara ini. Mengacu pada pengakuan dari salah satu terpidana dugaan salah tangkap kasus pembunuhan vina, bernama Saka Tatal yang baru saja menjalani masa hukumannya selama 8 tahun. Jika memang kasus ini tidak diangkat dilayar lebar maka dipastikan korban dugaan salah tangkap ini tidak akan pernah terungkap. Didalam pengakuannya ketika diwawancarai oleh beberapa stasiun televisi ia menyatakan dengan suara gemetar penuh ketakutan telah mengalami berbagai macam penyiksaan baik fisik maupun psikis, hal ini dikarenakan penyidik kita masih mengejar pengakuan tersangka daripada keterhubungan antara peristiwa hukum dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Padahal kita tahu bahwa pengakuan tersangka dihadapan penyidik bukanlah salah satu bukti sebagaimana amanat Pasal 184 Ayat (1). Kita-pun yang tidak merasakan dampaknya secara langsung akan peristiwa tersebut tentunya tidak bisa menutup mata, banyak kejadian-kejadian serupa yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini, bahkan berdasarkan survey Transparency International (TI) https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2022-mengalami-penurunan-terburuk-sepanjang-sejarah-reformasi/. Ini seharusnya menjadi penyemangat pemerintah maupun segenap jajarannya agar dimasa-masa yang akan datang negara ini, agar negara ini tidak mengalami rusaknya stabilitas politik, sosial, dan ekonomi yang pada akhirnya akan mengancam perdamaian, keselamatan, dan keamanan secara luas. Korupsi juga mampu menciptakan lahan subur bagi, gembong narkoba, mafia pertanahan, mafia peradilan, mafia perizinan, mafia pertambangan, kejahatan terorganisir, terorisme, bahkan perang, karena impunitas terus terjadi melalui keterlibatan pejabat publik dan penegak hukum yang korup. Hanya bisa membayangkan (dengan mengelus dada), setiap proses yang dijalani seseorang yang salah tangkap dikarenakan sebelum menjalani vonis penjara, seseorang akan mengalami tahapan demi tahapan yang sangat panjang nan melelahkan. Dari proses penangkapan, penahanan, sampai menjalani sidang di pengadilan. Banyak pihak yang diikut sertakan dari mulai pihak penyidik polri, kejaksaan sampai hakim belum lagi dari pihak keluarga terduga pelaku tindak pidana yang dituduhkan. Dalam analisa orang normal tentunya korban dugaan salah tangkap bahkan salah penuntutan sampai salah vonis seakan-akan tidak mungkin terjadi, tapi itulah bahayanya mafia peradilan/ mafia hukum jika berjalan dengan sistematis. Siapapun bisa terkena perlakuan sewenang-wenang aparat penegak hukum (arbitrary procces), yang salah bebas berkeliaran yang tidak pernah melakukan pidana malah dihukum, tentunya juga kita tidak menafikan kerja-kerja apparat hukum lainnya yang baik dan sesuai prosedural. Maka, tulisan ini akan membahasnya bagaimana jika kita/ keluarga kita mengalami hal serupa dimasa –masa yang akan datang. 1. Dijadikan Tersangka padahal kita tidak merasa/ tidak pernah melakukan Tindak Pidana Selain Saka Tatal juga pernah kejadian salah tangkap yang cukup menggegerkan publik yaitu kasus Rian “Jagal Jombang”. Rian sebelum ditahan, Hambali alias Kemat (26) dan Devid Eko Priyanto (17), warga Desa Kalangsemanding. Keduanya divonis 17 dan 12 tahun penjara.(Sumber: https://news.detik.com/berita/d-995834/ryan-bunuh-asrori-polisi-salah-tangkap). Namun berdasarkan hasil tes DNA yang dirilis oleh Mabes Polri, bahwa mayat yang ditemukan di kebun tebu itu diidentifikasi sebagai Fauzin Suyanto, warga Jalan MT Haryono 24 Nganjuk, Jawa Timur. Setelah melalui jalan dan perdebatan panjang, akhirnya polisi mengakui telah salah tangkap dalam menangani kasus penemuan mayat di kebun tebu. Pada akhirnya, pada Desember 2008, Hambali alias Kemat dan Devid dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah.(Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/07/150000379/kasus-kemat-dan-devid-korban-salah-tangkap-di-jombang?page=all). Kejadian-kejadian serupa tentunya sangatlah banyak atau marak terjadi, khususnya dalam perkara tindak pidana penyalahan narkoba, penegak hukum dalam hal ini seringkali menggunakan metode yang seharusnya diharamkan oleh para penegak hukum itu sendiri. Teknik Penyidikan Pembelian Terselebung dan penyerahan di bawah pengawasan (undercover buy atau controlled delivery), adalah metode yang sangat usang/ kuno, seharusnya tidak boleh dilakukan dengan pengecualian jika metode tersebut digunakan untuk membongkar jaringan narkoba kelas kakap dengan omzet berates-ratus milyard atau pejabat yang korup (OTT KPK). Bukan dikenakan kepada perkara-perkara narkoba recehan atau kelas ecek-ecek dengan pembelian 1-2 poket sabu-sabu. Jika kita protes kepada penyidik, ia akan berpegangan kepada pasal 75 dan 79 UU Narkotika yaitu penyidik berwenang untuk melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) atas perintah tertulis dari pimpinan. Jika kita kejar lagi mana perintah dari pimpinan selalu akan menjawab itu bukan kewenangan dari pihak pengacara/ pembela. Padahal jika ia memang selaku penyidik cerdas tentunya akan sangat memahami hak-hak dari calon terduga tersangka maupun pembelanya. Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor 10 K/Pid.Sus/2015 dan Nomor 363 K/Pid.Sus/2015, jelas-jelas telah melarang teknik penjebakan yang dilakukan oleh penyidik kecuali jika memang untuk membongkar jaringan narkoba yang mempunyai dampak sangat luas bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan juga Penjebakan (Operasi Tangkap Tangan/ OTT KPK) yang dilakukan kepada pejabat karena dugaan korupsi. Menggoda atau menjerumuskan seseorang untuk menjerat prilaku kepidanaannya, mempunyai garis yang sangatlah tipis dan perlu pembuktian di pengadilan, apakah memang ia melakukan itu atas dasar kesadarannya atau atas dasar untuk tergoda untuk melakukannya atau bahkan tidak ada pilihan lain selain melakukannya. Selain putusan Mahkamah Agung juga bisa kita pelajari perkara yang menimpa atas nama Andika Tri Oktaviani melalui Putusan Nomor 454 K/Pid.Sus/2011 di mana ia dijebak atas kepemilikan 1 paket sabu-sabu. Andika pun dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Pada 2014, Hakim di Pengadilan Negeri Muaro juga memutus bebas seorang terdakwa yang dianggap dijebak oleh aparat penegak hukum. Belajar dari kasus Andika Tri Oktaviani, penyidik juga bisa dilaporkan balik dengan dugaan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 318 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain sehingga menimbulkan suatu perbuatan pidana, diancam hukuman 4 tahun. Dengan catatan korbannya berani melaporkan (baca: delik aduan – kebanyakan tentunya mengalami trauma yang mendalam). Selain itu terdapat pula Pasal 421 dan 422 KUHP terkait pejabat (dalam hal ini penyidik kepolisian) terindikasi melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan paksaan untuk memperoleh keterangan secara melawan hukum. 2. Perintah Tertulis Untuk Penahanan dan Penangkapan Mungkin pembaca seringkali mendengar atau bahkan mengalami, surat penahanan maupun penangkapan dikirimkan melalui pos/ kurir setelah lewat masa 1 x